Tuesday, January 27, 2015

Berkunjung ke Rumah Seni Balai Ramang

Senang rasanya saat melihat/mendengar Balai Ramang akhir-akhir ini cukup sering diekspos media cetak dan siaran radio lokal. Jadi teringat waktu berkunjung kesana pada 1 Januari 2015 kemarin. Saat itu belum banyak yang tahu mengenai keberadaan rumah bambu dengan arsitektur unik ini. Kami sendiri tahu setelah Ichunk (pengurus Basecamp Buku Meratus) memajang fotonya saat berada disana sebagai DP BBM-nya. Ichunk sendiri saat itu mengaku baru tahu keberadaan rumah seni ini. Padahal, ternyata Pak Bambang Sujianto (yang membangun Balai Ramang) sudah setahun ini tinggal disana.
burung dari sabut kelapa hasil karya anak-anak Kampung Ramang

Rumah seni (Balai Ramang) terletak di Kampung Ramang, Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Balai Ramang difungsikan tidak hanya sebagai tempat untuk berkesenian, tetapi juga sebagai tempat belajar bagi anak-anak Kampung Ramang. Pada sore atau malam hari banyak anak berkumpul disana untuk belajar bersama untuk membuat prakarya, belajar memainkan gitar, atau membahas pelajaran sekolah.

Pak Bambang sebelumnya bekerja dan berdomisili di Jakarta. Saat kutanya kenapa memilih tinggal di desa yang jauh dari keramaian, beliau menjawab, “Wong urip iku kudu urup. Aku sudah lama hidup di kota besar mengejar materi. Jadi, sekarang waktunya aku mendekatkan diri pada Tuhan, caranya dengan membantu penduduk kampung ini agar bisa hidup tanpa harus bergantung dengan apa yang disediakan oleh alam,” Kurang lebihnya begitu kata beliau saat bercerita pada kami.
Perjalanan ke Balai Ramang bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 1 jam dari Kota Barabai dengan kondisi jalan yang bagus. Patokannya adalah obyek wisata air panas Hantakan (banyu panas). Sesampainya di depan gerbang banyu panas, jangan belok/masuk gerbang tapi lurus saja, ikuti jalan beraspal karena masih akan melewati beberapa kampung, huma (ladang di perbukitan), hutan yang ditumbuhi pohon durian, rambutan, pampakin, dan pepohonan lainnya. Selain itu, mata kita juga akan dihibur dengan pemandangan sungai-sungai yang mengalir di sepanjang tepi jalan. Sangat menyenangkan dan menenangkan meski di musim hujan kita harus waspada karena ada beberapa ruas jalan yang rawan longsor. Sampai di Kampung Cabai, kendaraan bisa dititip parkir di Basecamp Buku Meratus dilanjutkan berjalan kaki sekitar 10 menit ke Balai Ramang. Jika bingung, bisa bertanya dengan penduduk karena Pak Bambang sudah dikenal oleh masyarakat disana.
kolam ikan indukan
Selain Balai Ramang, Pak Bambang yang sewaktu muda pernah menjadi atlet gulat ini juga membuat kincir air yang digunakan sebagai pembangkit listrik bagi rumah-rumah yang ada di Kampung Ramang karena listrik memang belum menjangkau daerah ini. Sinyal operator telepon seluler pun hampir tidak ada. Pak Bambang juga membuat beberapa kolam ikan yang salah satunya sudah menjadi kolam ikan indukan untuk kolam lainnya. Beliau juga berencana untuk mengelola kebun dengan metode hidroponik di sekitar kolam. Semuanya dimanfaatkan untuk menjadi sarana belajar bagi masyarakat di Kampung Ramang dan siapa pun yang ingin berkunjung kesana.

bendungan dan kincir air untuk pembangkit listrik bagi Kampung Ramang
Untuk pendanaa segala pembuatan balai, kincir, dan kolam, selain dari kantong pribadi Pak Bambang juga mendapat bantuan dari kawan-kawannya. Pak Bambang berharap Balai Ramang bisa menjadi tempat belajar bagi siapa pun dan beliau akan sangat senang jika ada yang bersedia menjadi volunteer untuk membantu kegiatan disana.
Pak Bambang Sujianto ternyata alumni SMPP 28 Banjarmasin (sekarang SMAN 7 Banjarmasin).
Bertemu dengan satu almamater sekolah di tempat yang jauh itu menyenangkan :)

Backpacker Satayuhnya Barabai bersama Pak Bambang Sujianto

Sunday, January 25, 2015

Berkunjung ke Desa Rantau Bujur (eps. Volunteering)

cerita sebelumnya di episode Bukit Kapayang

Listrik di Desa Rantau Bujur hanya didapat dari pukul 6 sore –6 pagi. Sinyal operator telepon seluler pun nyaris tidak ada. Ada, tapi hanya di satu sudut yang letaknya lebih tinggi dari wilayah lainnya di Desa Rantau Bujur ini sehingga kalau ingin menelepon/menerima SMS harus pergi kesana.
Untuk sementara lupakan mengutak-atik ponsel untuk sosial media. No BBM, path, instagram, facebook, bahkan telepon dan SMS. Malam itu dilewati dengan berbincang dengan Pak Mukeri dan guru-guru yang membantu istri beliau menyiapkan makan malam untuk kami. Tentang kondisi sekolah dan siswa-siswanya, juga kondisi masyarakat dan pelayanan medis yang terbatas. Kami pun melewati malam dengan bertukar cerita untuk mengenal lebih banyak antara yang satu dengan yang lain karena tidak semuanya sudah saling kenal dan pernah travelling bareng. Keterbatasan kali ini menambah keakraban kami karena tidak ada yang asik sendiri dengan ponselnya.

Rabu, 21 Januari 2015.
Bangun pagi dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Agenda kami pagi itu adalah berkunjung ke SDN Rantau Bujur dan SMPN 4 Aranio untuk kegiatan bakti sosial. Buku hasil donasi dari Indomedia dan teman-teman lainnya kami serahkan ke guru/petugas perpustakaan. Sambil membagikan permen coklat dan beberapa paket alat tulis ke kelas-kelas, kami bertukar cerita, membuat games/tebak-tebakan, juga penyuluhan kesehatan untuk para siswa.

antusias mendengarkan Kak Yusuf memberikan penyuluhan
mengenai cara mencuci tangan yang baik
Kak Hendra dan Kak Dwi sedang menceritakan pengalaman
mereka travelling kepada adik-adik SMPN 4 Aranio
 Senang rasanya melihat mereka antusias dengan kedatangan kami. Meskipun lokasi desa ini terpencil, tapi anak-anaknya memiliki semangat yang tinggi untuk bersekolah, minimal menuntaskan WAJAR DIKDAS 9 tahun. Memang tidak banyak anak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena fasilitas pendidikan di desa ini hanya sebuah SD dan SMP negeri. Untuk melanjutkan ke SMA/sederajat dan jenjang yang lebih tinggi mereka harus pergi meninggalkan desa. 
Aku ingin ke Jakarta supaya bisa pergi ke Ancol dan Monas. Kata seorang siswa yang kami minta menceritakan keinginannya akan pergi kemanakah jika dia travelling suatu saat nanti
SDN Rantau Bujur dan SMPN 4 Aranio berada pada lingkungan yang sama karena dulunya memang merupakan sekolah satu atap. Terdapat 6 rombel di SDN Rantau Bujur dan kondisinya masih sangat bagus. Sedikit berbeda dengan kondisi SMPN 4 Aranio. Lantai di beberapa ruang kelas terlihat pecah-pecah. Cukup mengganggu pemandangan meski tidak mempengaruhi aktivitas belajar mengajar. Semoga kondisi lantai kelas ini mendapat perhatian dari dinas pendidikan mengingat saat ini di sekolah tersebut sedang dilakukan pembangunan WC sekolah.

kondisi ruang kelas di SMPN 4 Aranio
lapah tapi rami ya ini pang :)
tunjukkah coklatnya!!
Cukup lama kami berada di sekolah. Anak-anak SDN Rantau Bujur amat bersemangat mendengarkan penyuluhan kesehatan mengenai cara mencuci tangan yang benar yang disampaikan dengan gaya yang kocak oleh Kak Ucup yang berprofesi sebagai perawat. Belum puas di dalam kelas, dilanjutkan dengan duduk lesehan di teras kelas yang akhirnya diikuti oleh siswa dari kelas 1 – 6. Siapa yang bisa memperagakan cara mencuci tangan yang benar mendapat hadiah permen coklat buatan Kak Dwi yang memang memiliki usaha pembuatan kue dan coklat (nah Dwi, kurang apa lagi kakak mempromosikan Rumah Tieka Coklat di blog ini. Diskon lah kalau kakak pesan wadai/coklat :D).
senang bisa berbagi cerita bersama mereka
Halo Indonesia! Kami siswa-siswa SDN Rantau Bujur
pesta durian
Kegiatan berlanjut dengan hunting durian! Sayang, tahun ini tak banyak durian yang bisa didapat di desa ini. Untungnya, selain durian desa ini juga menyuguhkan buah-buahan lainnya seperti rambutan, kapul, dan ramania (gandaria). Buah yang disebut terakhir bahkan tak pernah dilupakan Steven di waktu makan tiba. Penuh semangat, Steven membuat cacapan ramania sebagai pengganti sambal terasi untuk menu pelengkap makanan yang dimasak oleh istri pembakal. Nasinya dari beras gunung, ikannya didapat dari sungai/waduk Riam Kanan, sayurannya sayur organik dari hasil kebun penduduk desa. Tanpa malu-malu tak sedikit dari kami yang nambah nasi dan lauk saking berasa nikmatnya.
 Waktu menunjukkan pukul 2 siang. 1 jam lagi kami akan dijemput kelotok carteran kami kemarin di dermaga. Sebelum pulang, ada lagi yang akan kami berikan kepada Pak Mukeri selaku pambakal yaitu papan nama kepala desa untuk dipasang di depan rumah dan papan nama desa untuk dipasang di dermaga. Senang rasanya melihat dermaga Desa Rantau Bujur kini bisa mengucapkan selamat datang bagi siapapun yang berkunjung kesana.

penyerahan papan nama desa kepada Pak M. Mukeri Pambakal Rantau Bujur
Semoga lebih banyak lagi perhatian dari berbagai pihak bagi Desa Rantau Bujur dan desa-desa lainnya di wilayah waduk Riam Kanan. Perbaikan akses jalan darat agar mudah dilalui menggunakan kendaraan bermotor, peningkatan fasilitas pasokan listrik, jaringan komunikasi telepon seluler, kesehatan (termasuk kendaraan seperti speedboat agar masyarakat bisa mendapat penanganan medis serius dengan cepat), pendidikan, dan semua yang menjadi hak mereka sebagai warga negara Indonesia.
Banyak pengalaman dan cerita menarik yang kami bawa pulang. Kegiatan kali ini bahkan menjadi pemicu semangat kami untuk melakukan kegiatan serupa di tempat lainnya. Voluntourism itu menyenangkan, kawan! Tidak hanya mendapatkan pengalaman menyenangkan saat berjalan-jalan, tapi juga perasaan nyaman karena dapat membantu sesama yang memerlukan bantuan.
Atas terlaksananya kegiatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak M. Mukeri selaku Kepala Desa Rantau dan istri, amang Anshari (guide), guru-guru SDN Rantau Bujur dan SMPN 4 Aranio, masyarakat Desa Rantau Bujur, dan para donatur atas sumbangan buku, uang, tenaga, serta dukungannya.
see you on next voluntourism with South Borneo Travellers
Gunung Pahiyangan dari kejauhan
Tepat jika ada yang menyebutkan bahwa… When you travel, there are always stories to tell, places to see, things to do, people to meet, and memories to remember.

*semua foto merupakan dokumentasi dari South Borneo Travellers

Berkunjung ke Desa Rantau Bujur (eps. Bukit Kapayang)

Kecamatan Aranio (3o9’34’’ LS – 3o17’58’’LS dan 115o7’50” – 115o5’13”) merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan ini melingkupi 12 desa (diurut dari lokasi kantor desa yang paling dekat ke yang paling jauh menuju kantor Kecamatan Aranio), yaitu: Aranio, Tiwingan Lama, Tiwingan Baru, Belangian, Paau, Kalaan, Artain, Benua Riam, Bunglai, Apuai, Rantau Bujur (20 km), dan Rantau Balai. Desa-desa ini berada di sekitar waduk Ir. P. H. M. Noor yang lebih dikenal dengan sebutan waduk Riam Kanan.
Aku akan bercerita mengenai kunjunganku ke Desa Rantau Bujur bersama kawan-kawan yang tergabung dalam South Borneo Travellers. Kunjungan yang bermakna dan sangat menyenangkan. Sebab, selain untuk travelling (namanya juga komunitas jalan-jalan), kedatangan kami ke desa ini juga untuk melakukan bakti sosial.

Selasa, 20 Januari 2015.
Pukul sembilan pagi kami berkumpul di dermaga Riam Kanan. Bang Deddy, Adit, Al, Rama, Hafiz, Fandy, Ega, Dayat, Ucup, Donny,Roew, Hendra, Aal, Stevan, Zaini, Enoy, Sari, Halimatus, Dwi, Nanda, Denina, Netya, Ka Ardi beserta istri (Ka Erna) dan anak bungsunya yang berumur 5 tahun (Azzam), dan tentunya aku. Kami menuju Desa Rantau Bujur menggunakan kelotok yang sudah kami pesan beberapa hari sebelumnya.

kelotok inilah yang mengantar jemput kami
berfoto dulu di depan dermaga desa *belum ada plang nama desa*
makan kuaci menambah keakraban selama diperjalanan
Ada kelotok yang berfungsi sebagai taksi air dari dermaga Riam Kanan menuju Desa Rantau Bujur. Pagi dari desa dan sore hari dari dermaga Riam Kanan. Meskipun Desa Rantau Bujur bisa didatangi lewat jalan darat, tapi jauh lebih nyaman jika menuju desa ini melalui jalur air. Hal ini menjadikan kelotok sebagai alat transportasi vital bagi warga jika akan bepergian ke luar desa.
Perjalanan dengan waktu tempuh 2 jam membuat kami menikmati banyak pemandangan yang disuguhkan oleh waduk Riam Kanan. Keramba-keramba nelayan Riam Kanan, pemukiman penduduk, bukit-bukit yang sekarang menjadi destinasi travellers lokal seperti Bukit Batas, Bukit Batu, dan Bukit Atawang, aktivitas warga, juga sapi-sapi yang merumput di daratan/pulau-pulau kecil di area waduk Riam Kanan. Sungguh mempesona.

Bukit Batu
 Sampai di wilayah Desa Apuai kelotok mulai meninggalkan waduk dan masuk ke jalur sungai. Tak lama kemudian sampailah kami di Desa Rantau Bujur. Horeee… Kedatangan kami disambut gembira Pak M. Mukeri, Pambakal (Kepala Desa) Rantau Bujur. Rumah beliau lah yang menjadi tempat bermalam kami selama di Desa Rantau Bujur.
“Mana foto kita kemarin?” tanya Pak Mukeri pada teman-teman yang sebelumnya sudah pernah berkunjung ke Rantau Bujur.

foto kunjungan sebelumnya
Kunjungan mereka saat itulah yang akhirnya membawa kami datang ke tempat ini untuk trekking ke Bukit Kapayang dan membawa sedikit buah tangan. Buah tangan berupa buku-buku untuk perpustakaan sekolah, papan nama desa untuk dipasang di dermaga, papan nama kepala desa untuk dipasang di depan rumah, sekardus permen coklat dan beberapa bungkus paket alat tulis yang akan dibagikan kepada siswa-siswa saat kami berkunjung ke sekolah. Oleh karena itu, kami mengkategorikan trip kali ini sebagai voluntourism*.
Setelah beristirahat, sholat, dan makan siang, kami pamit pada Pak Mukeri untuk pergi ke Bukit Kapayang. Ditemani perang (amang) Anshari yang bertindak sebagai guide dan rinai hujan, kami pergi ke Bukit Kapayang dengan bersemangat dan penuh warna. Sumpah! Saat itu aku mengenakan jas hujan warna biru, Adit mengenakan jas hujan warna kuning, Azzam mengenakan jas hujan warna pink, payung yang kami gunakan untuk melindungi diri dari hujan juga warna-warni. Penuh warna, kan? :D

kecil-kecil begini Azzam sering trekking loh
Untuk menuju Bukit Kapayang kami harus menyeberangi sungai yang di musim hujan ini menjadi lebar dan dalam. Hal kocak namun menegangkan pun terjadi saat kami turun ke kelotok (yang ukurannya jauh lebih kecil dibanding kelotok yang membawa kami dari dermaga). Aku yang tidak bisa berenang langsung pucat, takut kelotok oleng dan terbalik. Ditambah Dwi yang parnoan dan histeris saat menaiki kelotok membuatku tambah takut hingga duduk terdiam tanpa berani bergerak. Hahahaha… untungnya histeriaku hilang saat kelotok mulai melaju membelah sungai. Sampai di seberang, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Hujan membuat jalur yang kami tempuh menjadi becek bahkan tergenang.
kelotok yang membawa kami menyeberang menuju Bukit Kapayang


foto bareng dulu sebelum memulai trekking.
warna-warni jas hujan dan payung menambah semarak trekking kami
“Semoga tidak ada pacat (lintah),” ucapku dalam hati. Doa anak sholehah terkabul (hehehee…). Tak satu pun dari kami yang melihat/digigit lintah. Tapiiii…. tak satupun dari kami yang terbebas dari butuh bujang (ada yang tahu apa Bahasa Indonesia/bahasa latinnya rumput yang kepala/butiran buahnya suka nempel ini?!). Banyak bingit!! Azzam yang biasanya enjoy naik bukit/gunung kali ini merenggek minta hambin (gendong) ke abahnya. Meski demikian, ada saja yang rela rebahan di rumput demi bisa mendapatkan foto dengan gaya andalannya setiap kali travelling. Alhasil, butuh bujang tidak hanya nempel di celana tapi juga baju dan jilbab. Hahahaa…

diperjalanan menuju Bukit Kapayang
foto-foto jalan terus sebagai kenangan sewaktu trekking
Alhamdulillah, saat berada di Bukit Kapayang hujan reda. Kami pun bisa berfoto-foto dan menikmati pemandangan tanpa harus mengenakan jas hujan dan payung. Bahkan, puncak Gunung Pahiyangan yang awalnya tertutup kabut pun berangsur dapat terlihat. Senang rasanya bisa melihat gunung ini dari dekat.

Gunung Pahiyangan dari Bukit Kapayang
Menurut informasi yang didapat, Gunung Pahiyangan ini berbentuk segi delapan sehingga jika dilihat dari sisi manapun bentuknya akan sama. Puncaknya yang datar menambah eksotika gunung hingga kami menjulukinya table mountain. Gunung ini memiliki beberapa mandin (air terjun) dan telaga. Salah satu adalah mandin pantan. Jika debit air terjun ini sedang banyak, air yang jatuh akan membentuk tiga aliran hingga terlihat seperti tirai. Namun kali ini kami hanya sampai Bukit Kepayang karena untuk ke mandin pantan masih harus trekking sekitar 1,5 jam lagi.


Tidak banyak yang pernah naik ke puncaknya. Ketiadaan informasi mengenai koordinat, ketinggian gunung, dan kondisi jalur ke puncaknya membuat gunung ini semakin menarik (untuk dipandangi). Teman-teman yang sebelumnya kesini pun hanya sampai mandin Pantan. Ke mandin pantan saja memakan waktu berjam-jam, apalagi ke puncak. Nanti lah aku kesana, tapi lewat google earth saja :p

Gunung Pahiyangan
Sekilas tentang Desa Rantau Bujur.
Status/klasifikasi =  desa swasembada
Jarak dari kantor desa ke kantor kecamatan di Aranio = 20 km
Luas wilayah = 314 km2
Jumlah penduduk (2011) = 807 jiwa (3 jiwa/km2)
Jumlah Rukun Tetangga = 3 RT
Jumlah sekolah = 2 buah (SDN Rantau Bujur dan SMPN 4 Aranio)
Pelayanan medis = 1 buah puskesmas pembantu
(sumber: Kecamatan Aranio dalam Angka Tahun 2012)

*Voluntourism, volunteer tourism, volunteer travel, volunteer vacations = travel which includes volunteering for a charitable cause --- berwisata sambil melakukan kegiatan dengan sukarela di tempat yang dikunjungi).
**semua foto adalah dokumentasi SBTers.

bersambung ke episode Volunteering

Basecamp Buku Meratus

BERIKAN AKU SATU BUKU maka AKAN KUBUMIKAN MIMPIKU

Basecamp Buku Meratus terletak di Kampung Cabai, Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Basecamp Buku Meratus merupakan perpustakaan mini sekaligus tempat belajar bagi anak-anak di Kampung Cabai dan sekitarnya. Keberadaan Basecamp Buku Meratus diharapkan menjadi sarana untuk menimbulkan minat baca dan menambah pengetahuan anak-anak di wilayah Pegunungan Meratus (terutama Desa Patikalain) agar tidak kalah dengan anak-anak di wilayah perkotaan.

Basecamp Buku Meratus sendiri berdiri atas prakarsa Ichunk, salah seorang teman jalan-jalanku di komunitas Backpacker Satayuhnya Barabai yang juga salah seorang penggiat Gradasi Hijau. Saat keinginannya ini di share ke kawan-kawan melalui sosial media, alhamdulillah disambut dengan baik hingga akhirnya diadakanlah penggalangan donasi buku, alat sholat, juga uang untuk pembuatan rak buku, pembelian papan tulis, dan perbaikan tempat yang saat ini menggunakan musholla Ar-Rahim. Banyak yang berkontribusi dalam penggalangan donasi ini. Tidak hanya dari Barabai, Kandangan, Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, tapi juga kawan-kawan dari luar daerah.
Aku pertama kali berkunjung saat peresmian berdirinya Basecamp Buku Meratus pada hari Minggu, 16 November 2014. Saat itu aku pergi kesana bersama keluarga, kakak-kakak Coin a Chance! Banjarmasin, kawan-kawan Piknik 28, dan kawan-kawan Backpacker Satayuhnya Barabai untuk mengantarkan donasi buku dan uang yang dititipkan ke kami untuk diserahkan kepada pihak pengelola. Saat itu akses jalan kesana masih cukup sulit meski bisa dilewati dengan kendaraan roda empat. Alhamdulillah, pada kunjungan kami berikutnya sekitar dua minggu kemudian, kondisi jalan sudah beraspal sampai ke Kampung Cabai tempat Basecamp Buku Meratus berada.


foto narsis saat peresmian Basecamp Buku Meratus :D
Meski tidak sulit untuk menemukan lokasi Basecamp Buku Meratus, bagi yang pertama kali kesana (terutama bukan orang Barabai) mungkin akan sedikit kebingungan. Letaknya memang cukup jauh dari Kota Barabai, sekitar 1 jam perjalanan. Patokannya adalah obyek wisata air panas Hantakan (banyu panas). Sesampainya di depan gerbang banyu panas, jangan belok/masuk gerbang tapi lurus saja, ikuti jalan beraspal karena masih akan melewati beberapa kampung, huma (ladang di perbukitan), hutan yang ditumbuhi pohon durian, rambutan, pampakin, dan pepohonan lainnya. Selain itu, mata kita juga akan dihibur dengan pemandangan sungai-sungai yang mengalir di sepanjang tepi jalan. Sangat menyenangkan dan menenangkan meski di musim hujan kita harus waspada karena ada beberapa ruas jalan yang rawan longsor.

Kampung Cabai terletak di penghujung aspal. Meskipun demikian, bukan berarti Kampung Cabai menjadi kampung terakhir yang dihuni jika kita pergi kesana. Masih beberapa pemukiman dan balai adat Dayak Meratus lagi bisa kita temui meski mendatanginya perlu pengorbanan (ceritanya ada di postingan berikutnya).

Kembali ke cerita tentang Basecamp Buku Meratus….
Kegiatan belajar di Basecamp Buku Meratus sudah berjalan meskipun untuk perpustakaan, pendataan buku yang dilakukan oleh relawan dari perpustakaan daerah Kab. Hulu Sungai Tengah yang turut membantu berdirinya Basecamp Buku Meratus ini belum selesai sehingga buku-buku donasi belum semuanya dapat dipajang. Para relawan rutin datang ke Basecamp Buku Meratus untuk mengajari anak-anak disana membaca, berhitung, menggambar, dan mengaji. Pengetahuan agama juga diberikan mengingat banyak dari mereka merupakan muallaf yang masih perlu banyak bimbingan dalam beribadah. Sesekali, pengelola dan relawan Basecamp Buku Meratus juga mengadakan kegiatan yang menghibur dan menambah keakraban satu sama lain seperti makan bersama dan lomba-lomba.



Foto-foto kegiatan di Basecamp Buku Meratus



Penggalangan donasi untuk kegiatan di Basecamp Buku Meratus terus berjalan meski tidak lagi seheboh yang pertama. Saat ini, pengelola berkeinginan untuk membuatkan anak-anak Basecamp Buku Meratus celana dan rok panjang yang nantinya dipakai untuk belajar mengaji dan praktik sholat. Keinginan ini muncul karena saat ditanya mengapa mereka selalu bercelana/rok pendek saat datang ke Basecamp Buku Meratus, anak-anak itu dengan polos menjawab mereka tidak punya celana/rok panjang.
Belum banyak yang bisa kubantu, namun aku bahagia bisa menjadi bagian dari Basecamp Buku Meratus. Perjalanan Basecamp Buku Meratus memang baru dimulai. Tentu semua berharap aktivitas di Basecamp Buku Meratus terus berjalan dan nantinya berganti estafet dikelola oleh anak-anak Kampung Cabai Desa Patikalain yang awalnya belajar disana. Aamiin.

Untuk donasi dan info lebih lanjut tentang Basecamp Buku Meratus
CP: Ichunk Lestari (085346625379, 085753056147)

Eits, ceritaku belum selesai…
Sebelumnya aku ada bilang kan kalau di perjalanan menuju Basecamp Buku Meratus tersaji banyak pemandangan indah? Jadi jangan kuatir jika kawan-kawan ingin berkunjung ke Basecamp Buku Meratus sekalian berekreasi karena kami pun melakukan hal serupa.

Ada beberapa obyek wisata yang dilewati dalam perjalanan menuju Basecamp Buku Meratus. Beberapa diantaranya adalah Pagat Batu Benawa, Manggasang, Banyu Panas Hantakan, Taguran Kuyang (karena letaknya dekat dengan Taguran Hantu jadi kami namai saja Taguran Kuyang), Taguran Hantu, dan rumah seni Balai Ramang. Meski tidak langsung terlewati, tapi Balai Ramang mudah dijangkau dari Basecamp Buku Meratus karena lokasi Kampung Ramang bersisian dengan Kampung Patikalain. Cukup berjalan kaki dengan trek sedikit menanjak sekitar 10 menit kita akan sampai di rumah bambu berarsitektur unik yang dibangun oleh Pak Bambang sebagai tempat belajar dan berkesenian bagi anak-anak di Kampung Ramang.

Berikut foto-foto obyek menarik yang dilewati ketika berkunjung ke Basecamp Buku Meratus
*lokasi diurut dari yang terdekat ditempuh dari Kota Barabai

Pagat Batu Benawa
photo taken by Pach Ru Raji Manggasang
Banyu Panas Hantakan
 
makan ikan goreng/bakar di rumah makan Mama Ila, Banyu Panas Hantakan


Taguran Hantu
Taguran Kuyang (namanya seram tapi obyeknya bagus bingit)
di Balai Ramang bersama Pak Bambang Sujianto
reuni kecil alumni SMPP 28 - SMAN 7 Banjarmasin :D