Friday, March 30, 2012

SMA untuk Mereka (Cerita dari Sungai Pembunuhan)

Sungai Pembunuhan. Sayang, aku lupa menanyakan kenapa kampung yang terletak di Tinggiran II Luar, Kecamatan Tamban, Kabupaten Barito Kuala tersebut dinamakan demikian. Aku sendiri baru mengetahui keberadaan kampung ini ketika ada penduduknya muncul di reality show Orang Pinggiran dan IndonesiaKu yang ditayangkan di Trans7. Padahal, letaknya persis di seberang Pulau Kembang, salah satu obyek wisata andalan Kalimantan Selatan yang cukup sering kudatangi.

Sabtu, 17 Maret 2011 lalu aku menginjakkan kaki disana, ditemani kedua muridku (AG dan Ade). Aku berencana menemui Acil Niah dan Iwan, anaknya, yang menjadi tokoh di reality show Orang Pinggiran dan IndonesiaKu, serta mengetahui kondisi Kampung Pembunuhan. Survei kecil-kecilan Koin untuk Banua (komunitas peduli pendidikan anak Banua yang kudirikan bersama kawan-kawan) sekalian nge-bolang. Aku tidak berani menjanjikan apa-apa kepada mereka, tapi semoga kunjunganku kesana ada manfaatnya bagiku, kedua murid yang kuajak, juga mereka.

Ditemani kedua muridku (AG dan Ade), kami sempat sangsi bisa sampai disana tanpa mengalami kesulitan. Pagi sebelum berangkat, aku goggling untuk mencari peta daerah setempat tapi nihil. Untungnya, aku kontakan dengan Mas Budi, salah seorang kru Trans7 yang memberiku alamat acil Niah. Sebelum sempat menyeberang di pelabuhan feri Kuin yang terletak tidak jauh dari makam Pangeran Suriansyah (Raja pertama Kerajaan Banjar), Pak Arul yang juga penduduk Sungai Pembunuhan menjemput kami di pelabuhan kelotok yang terletak persis di seberang makam Pangeran Suriansyah. Sepeda motor kami taruh di parkiran makam dan mulailah kami nge-bolang.

Waktu tempuh untuk mencapai Sungai Pembunuhan dengan naik klotok tidak sampai sepuluh menit. Di tengah perjalanan, kami bisa melihat monyet-monyet Pulau Kembang menyambut para wisatawan yang datang untuk mengunjungi mereka. Setelah hanya melihatnya jika berkunjung ke Pulau Kembang, akhirnya aku menginjakkan kaki juga di kampung yang banyak penduduknya mendirikan rumah panggung di atas sungai dan antar rumah dihubungkan dengan titian dari kayu ini.

Kami diantar Pak Arul langsung ke rumah Acil Niah.

“Iwan di sekolah,” kata Imay, adik Iwan yang paling besar, kelas 4 SD.

Acil Niah lalu mengantar kami ke sekolah Iwan, SMPN 3 Tamban, yang berjarak sekitar tiga menit berjalan kaki. Selain menemui Iwan, sekalian saja aku mengobrol dengan guru-gurunya, mumpung mereka masih berada di sekolah.


Berdasarkan cerita guru-gurunya, secara akademik Iwan standar lah. Tidak menonjol, tidak pula berada di urutan bawah. Namun, Iwan menonjol di bidang seni. Iwan piawai menciptakan lagu juga bermain drama/teater. Iwan ingin sekali bisa ikut sanggar drama, namun apa daya, di Tinggiran II Luar tidak ada tempat semacam itu. Oh ya, lagu ciptaan Iwan pernah dibeli oleh band asal Medan seharga dua juta untuk satu album. Iwan juga menyanyikan beberapa bait lagu ciptaannya di hadapan kami. Lagu ciptaannya itu mengingatkanku akan band ST 12 atau Kangen Band karena nadanya yang Melayu mendayu-dayu.


“Uangnya dipakai buat bayar hutang, membaiki rumah, dan modal jualan,” jelas Iwan saat kutanya dia gunakan untuk apa uang hasil penjualan lagu ciptaannya itu.

Bagi yang belum tahu kisah si Iwan, sepulang sekolah Iwan biasanya jualan aksesoris perempuan seperti ikat rambut dan bando keliling kampung. Berjalan kaki 10-20 km menjajakan jualan sudah biasa bagi Iwan. Tapi, sudah beberapa hari Iwan libur jualan. Selain untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian sekolah, Iwan sedang kehabisan modal.



Selain berbincang dengan keluarga dan guru-guru Iwan, aku juga diajak Pak Arul bertemu dengan ibu Muzakkir. Suami beliau lah (Pak Muzakkir) yang selama ini menghubungkan warga kampung dengan kru Trans7. Saat itu Pak Muzakkir sedang berada di Jakarta, makanya istri beliaulah yang menceritakan banyak hal tentang pendidikan dan kondisi sosial kampung tersebut.

Selain berbincang di rumah beliau, Bu Muzakkir yang menutupi kehidupan keluarganya dengan berjualan makanan untuk sarapan (seperti buras dan lontong) membawaku bersilaturahim ke rumah Lini, siswi kelas XII MA Nurul Khair, Subarjo. Menurut cerita bu Muzakkir, rumah orang tua Lini pernah mendapat janji akan dibedah saat mendapat kunjungan dari orang kabupaten karena kondisinya yang memang memprihatinkan. Tapi, sampai sekarang hal itu belum terealisasi.

Tidak seperti kebanyakan anak usia SMA di kampung tersebut, Lini cukup beruntung karena tetap bersekolah. Padahal, orang tuanya hanya buruh tani yang penghasilannya kadang tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Karena dia ingin sekali sekolah, maka apapun kami usahakan demi dia,” begitu kata orang tuanya.

Alasan mengapa banyak anak di kampung ini tidak melanjutkan ke jenjang SMA/sederajat sebenarnya tidak hanya karena masalah ekonomi. Tidak adanya SMA/sederajat di kampung tersebutlah faktor utamanya. Tidak seperti SD atau SMP negeri yang berlokasi di kampung tersebut, SMA/sederajat terdekat dari kampung tersebut berjarak sekitar 1 jam perjalanan mengenjot sepeda, itu pun dengan kondisi jalan yang tidak karuan.

“Jarang sepeda Lini benar-benar bersih akibat jalan yang berdebu di musim kemarau dan berlumpur di musim hujan,” begitu curhat ibunya.

Selain MA Nurul Khair, pilihan terdekat lainnya adalah menyeberangi Sungai Barito, yaitu bersekolah ke Banjarmasin. Namun, tidak semua penduduk sanggup menyekolahkan anaknya ke sana. Selain karena biaya sekolah di Banjarmasin yang cukup tinggi (sebagai pembanding, untuk iuran komite di sekolah Lini Rp 30.000/bulan, SMA tempatku mengajar termasuk yang termurah di Banjarmasin, Rp 90.000/bulan), mereka harus memperhitungkan ongkos klotok pergi pulang ke sekolah yang berkisar Rp 70.000 – Rp 80.000/bulan, belum uang perjalanan menuju sekolah (karena SMA yang berada di sekitar sana tidak ada yang terletak di pinggir sungai), serta uang jajan. Sedikitnya Rp 600.000/bulan harus disisihkan jika ingin menyekolahkan anak mereka ke Banjarmasin.

Perjalanan ke Banjarmasin sebenarnya bisa dilakukan lewat jalan darat, yaitu memutar cukup jauh melewati jembatan yang ada di Banjar Raya (dekat pelabuhan Trisakti). Pilihan ini tentu juga sulit karena sarana transportasi yang mereka miliki terbatas. Hal-hal inilah yang memberatkan bagi pendudukan kampung yang mayoritas berada di bawah garis kemiskinan untuk menyekolahkan anak mereka ke jenjang SMA/sederajat.

.Aku yakin, anak-anak di kampung ini memiliki semangat yang tinggi untuk bersekolah. Aku sempat bertanya kepada Iwan, kalau dia memiliki kesempatan untuk bersekolah ke Banjarmasin, bagaimana cara dia mengusakan untuk pergi pulang ke sekolah.

“Aku akan bersepeda ke sekolah, Kak. Tidak apa jauh, yang penting aku sekolah.”
“Jika tidak bisa bersekolah ke Banjarmasin?”
“Aku ikut sekolah paket atau sekolah terbuka yang ada di Tamban. Jadi, aku tetap bisa sekolah dan jualan.”

Ah, ingin sekali aku menunjukan kepada murid-muridku yang sering membolos atau kurang perhatian saat mengikuti pembelajaran betapa beruntungnya mereka karena bisa bersekolah dengan fasilitas yang layak. Bukankah merugi jika menyiakan ilmu yang diberikan oleh para pendidik serta jerih payah orang tua demi membiayai pendidikan kita?

Sungai Pembunuhan bukanlah kampung terpencil yang berpenduduk sedikit dan sulit didatangi. Sinyal telepon seluler yang memungkinkan anak-anaknya mengakses jaringan internet untuk ber-facebook-an saja dapat mudah diterima. Selama disana, aku tidak kesulitan ‘berselancar’ dengan Blackberry-ku Sangat disayangkan bukan jika anak-anak yang memiliki semangat begitu tinggi untuk menuntut ilmu seperti mereka harus putus sekolah karena ketiadaan biaya dan sarana/prasarana?