Tuesday, December 27, 2016

Kisahku di Haratai 3, Dusun Kadayang, Loksado

Liburan yang berkesan itu ketika pergi ke tempat-tempat yang unpridectable. Hampir terisolir karena akses jalan yang memerlukan skill berkendaraan yang oke, no signal telepon selular, syukurnya ada listrik yang bersumber dari kincir air karena wilayah ini dialiri riam-riam berair jernih yang berhulu di Pegunungan Meratus.
Penduduk yang ramah dan bersemangat membenahi dusunnya agar bisa menjadi tujuan wisata membuat kami merasa nyaman dan tak jera untuk kembali ke dusun ini.

Belum puas! Itu yang kami rasakan sekembalinya dari Haratai 3, Dusun Kadayang, Desa Haratai, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Belum banyak yang bisa dijelajahi saat berada disana karena keterbatasan waktu dan kondisi cuaca. Padahal, ada beberapa tempat yang ingin kami datangi sembari membantu mempromosikan dusun ini agar menjadi salah satu tujuan wisata yang bisa dipilih ketika berlibur ke Loksado.
Perjalananku kesana dalam rangka ikut liburannya kakak-kakak dari Kelas Inspirasi Banjarmasin. Mengapa ke Haratai 3? Karena meski pernah mendengar namanya, kami belum pernah kesana. Apalagi Dikun, Pengajar Muda Indonesia Mengajar (PM IM) yang bertugas disana sangat bersemangat menyambut kami.

Sabtu, 24 Desember 2016
Sekitar pukul 7.30 WITA, aku dan Didiel berangkat dari pal 7 (Banjarmasin) menuju Kota Kandangan menggunakan taksi colt. Sepinya penumpang membuat perjalanan kami terasa lama karena supirnya sempat ngetem untuk mendapatkan penumpang dan menjalankan taksinya dengan perlahan. Pak Utar, supir taksi pedesaan yang direkomendasikan Dikun sudah berada di Loksado. Taksi pedesaan lain pun tak terlihat. Alhasil, kami tidak mendapatkan angkutan menuju Loksado yang jumlah dan jam operasionalnya terbatas (hanya hingga sekitar jam 11 pagi).
Ini kali kedua aku mengalami hal ini. Beberapa tahun yang lalu, karena tidak tahu, aku dan ketiga siswaku terpaksa menyinggah pick up yang melintas agar kami bisa sampai di Loksado. Saat itu hari Jum’at. Niat hati ingin naik setelah melaksanakan sholat Jum’at, tak tahunya tidak ada lagi angkutan menuju Loksado. Setelah menunggu cukup lama, alhamdulillah, ada taksi pedesaan menuju Batulicin yang bersedia membawa kami dan berjanji mencarikan angkutan menuju ke Loksado di perjalanan.
“Mampir ke pendopo dulu saja,” kata Darwin, PM IM asal Jakarta yang saat itu berada di Kandangan. Darwin kemudian menjemput di tempat kami turun dari taksi colt. Karena jalur kendaraan umum sudah tidak diizinkan lagi untuk memasuki kota, kami tidak dapat lagi minta turunkan supir taksi di depan pendopo kabupaten.
Gunung Kentawan dari Bukit Langara
foto setahun yang lalu
Setelah beristirahat dan makan siang (hasil membajak alias minta belikan makan pada Kak Ilyas, Kepala Sekolah SMPN 6 Daha Selatan, kakak tingkatku di kampus, heheee…), kami berangkat ke Loksado. Kak Ilyas yang batal ikut karena ada acara keluarga, meminjamkan motornya kepada kami. Alhamdulillah, aku, Didiel, dan Darwin akhirnya bisa berangkat ke Loksado tanpa perlu naik ojek atau carter taksi colt/pick up. :D
Lama perjalanan dari Kandangan ke Loksado sekitar satu jam. Kondisi aspal yang cukup bagus dan kelokan rawan kecelakaan sudah diperbesar agar tidak ada lagi kendaraan yang terjun ke jurang, memudahkan perjalanan kami. Jalur Kandangan – Loksado memang sedikit berbeda dengan wilayah Kalimantan Selatan pada umumnya yang bertopografi datar. Jalurnya yang turun naik dan berkelok membuat pengendara harus berhati-hati saat melewatinya.
Pemandangan yang terlihat juga mempesona. Selain pemukiman penduduk, dapat juga dinikmati pemandangan Cagar Alam Gunung Kentawan yang dilewati aliran Sungai Amandit. Loksado memang bagian dari Pegunungan Meratus yang membentang sepanjang + 600 km2 dari arah tenggara Kalimantan dan membelok ke utara hingga perbatasan Kalimantan Timur.
Sesampainya di Loksado, kami singgah di mess guru yang menjadi posko PM IM. Kami disambut Dikun, Dika, Jajang, dan Asri. Semuanya adalah PM IM yang ditugaskan di Loksado. Para pemuda dari berbagai wilayah di Indonesia yang mengabdikan dirinya selama satu tahun untuk mengajar di wilayah-wilayah terpencil demi menginspirasi dan turut mencerdaskan anak bangsa. Ada juga Row, alumni Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM3T) penempatan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Barat, asal Kandangan yang juga turut serta menjadi bagian dari Kelas Inspirasi Banjarmasin. Senang dan bangga bisa mengenal mereka dengan baik. Para pemuda penuh semangat dan dedikasi.
riam hanai. sayang saat itu debit sungainya besar
sehingga kami takut menyeberang agar bisa lebih dekat
dengan air terjun yang cukup sering memakan korban jiwa ini
Kami tidak langsung pergi ke Haratai 3. Masih menunggu adikku (ifit) dan Mel yang menyusul berangkat ke Kandangan sepulang mereka bekerja. Besok pagi, dari Kandangan, baru mereka naik ke Loksado.
Mumpung masih sore, aku, Didiel, dan Darwin berjalan-jalan menikmati suasana Loksado yang nyaman. Melihat aktivitas penduduk yang sedang membuat gelang simpai, mengikis kulit batang kayu manis, juga berkunjung ke riam hanai dan riam barajang yang berada di Loklahung.
Aku terbawa suasana, bernostalgia mengenang keseruan kunjungan-kunjunganku sebelumnya ke Loksado. Dua kali sewaktu SMP dengan rombongan PMR SMPN 6 Dahlia Banjarmasin, membolang bersama ketiga siswaku ditemani kak Ughaw dan Roni, dan terakhir saat ikut Festival Bamboo Rafting dengan kawan-kawan South Borneo Travellers dua tahun yang lalu.
riam barajang. foto sewaktu SMP.
pembina PMR kami (alm) Bpk. Etryani suka mengajak kami liburan bersama ke Loksado.
kenangan membolang bersama Ade, Lengga, dan Cahyo.
kangen kumpul berempat karena selain Cahyo, kami sedang sama-sama kuliah di Malang
Malamnya, aku, Didiel, Darwin, dan Dikun menginap di mess Nusantara Sehat yang berada di areal Puskesmas Loksado. PM IM yang lain kembali ke desa mereka sehingga kami hanya berempat. Jadi, tidak apalah sesekali merepotkan Gino, salah satu petugas kesehatan asal Kendari yang saat itu memang lagi sendirian di mess. Berbeda dengan IM dan SM3T yang masa tugasnya selama satu tahun, Nusantara Sehat masa tugasnya lebih lama, yaitu dua tahun.
Saat kami datang, Gino sedang asyik menyiapkan bingkisan kegiatan sunatan massal untuk siswa SD se-Kecamatan Loksado. Gino bercerita, kegiatan ini merupakan bakti sosial yang didanai oleh berbagai pihak sebagai salah satu cara pemerataan akses kesehatan bagi anak-anak yang tinggal di berbagai pelosok desa di Kecamatan Loksado. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Nusantara Sehat, PM IM, dan masyarakat Loksado. Meski saat itu donasi yang masuk belum mencapai target, mereka tetap semangat melaksanakan kegiatan. Sayang, aku tidak bisa menyaksikan kegiatan yang dilaksanakan pada hari Rabu (28/12) karena sudah kembali ke Banjarmasin.

Minggu, 25 Desember 2016
Ifit dan Mel sampai di Loksado dengan menumpang taksi pedesaannya pak Utar. Mereka diturunkan di depan Puskesmas Loksado. Sambil menunggu Dikun kembali dari Kandangan, kami rujakan di teras mess bersama teman-teman Nusantara sehat lainnya.
Kak... belikan rujak! request Darwin pada Ifit dan Mel sebelum mereka naik ke Loksado
Dikun kembali bersama Budi, teman (entah kenal dimana :p), yang juga ingin ikut ke Haratai 3. Gino yang bilang tidak ada rencana kemana-mana libur long weekend ini pun sukses kami ajak ikut serta. Padahal, dia sudah pernah ke sana dan masih akan sering ke sana selama masa tugasnya. :D
Lepas tengah hari, kami berangkat naik motor menuju Haratai 3. Karena jumlah motor yang ada cukup, kami batal minta tolong penduduk untuk mengantarkan. Dikun-aku, Didiel-Ifit, Bayu-Mel, Gino-Darwin. Perjalanan yang kata Dikun akan cukup berat untuk dilalui ini pun kami mulai. Lets go!!!
isi bahan bakar dan cek kekencangan ban motor sebelum berangkat
Ini bukan kali pertama bagi aku, Ifit, dan Didiel pergi ke tempat dengan jalur  yang wow seperti ini. Salah satunya adalah ketika kegiatan Seragam Semangat saat membagikan donasi seragam dan perlengkapan sekolah ke Desa Datar Batung, sekitar satu tahun yang lalu.
Meski cukup lebar, tidak semua jalur menuju Haratai 3 bisa dilalui dengan nyaman. Jarak yang katanya hanya sekitar 7 km tidak dapat dilalui dengan mudah. Jangankan dijalan yang masih berupa tanah berbatu dan tanah liat, jalan semennya pun tidak bisa dianggap enteng. Ini karena jalurnya turun naik ditambah kelokan yang cukup tajam. Kami juga harus melewati beberapa jembatan gantung. Beruntung, saat itu cuaca cerah. Meski hujan turun semalaman, jalan yang kami lalui tidak terlalu becek. Dikun yang sudah sering bolak-balik pun beberapa kali memintaku turun agar kami tidak terjatuh (kalau penduduk sini, boncengan tiga tanpa turun dari motor pun tidak masalah, ckckck).


Aku mengobrol dengan Dikun selama perjalanan. Salah satu isi obrolan kami adalah pertanyaanku ini:
“Sebelum ini, Dikun pernah kah motoran dengan jalur yang kayak ini?”
Dikun berasal dari Palembang. Jadi tidak salah kan ya kalau aku bertanya seperti ini? Meskipun belum setahun di Kalimantan Selatan, Bahasa Banjarnya sudah cukup bagus. Begitu juga Darwin dan Gino.
“Enggak, kak. Disana jalannya datar-datar aja. Paling berlumpur. Jadi, terlatihnya ya disini. Awalnya takut. Tapi, karena sering bolak-balik, sekarang sudah terbiasa,” begitu jawabnya.
Dia juga cerita, kata penduduk, sebenarnya kalau ingin muncak (ke Halau-halau), jauh lebih dekat lewat Haratai 3 dibandingkan lewat Kiyu (Desa Hinas Kiri, Kabupaten Hulu Sungai Tengah). Mungkin karena jalan menuju Haratai 3 masih susah dan bukan jalur yang umum dilewati, jarang ada yang ke Halau-halau lewat sini. (Belakangan baru aku tahu kalau Dikun sudah menginjakkan kakinya di puncak Halau-halau. Keduluan dia, hikss!).
Mel dan Budi sempat terjatuh di salah satu kelokan (yang meski sudah ada namanya, kami menamakannya kembali menjadi “tanjakan iphone” karena iphone Darwin sukses lecet saat menolong Mel). Alhamdulillah, mereka tidak sampai terluka. Kami sampai di Haratai 3 dengan selamat setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam.
kalau sudah bertemu dengan jembatan pink ini, tandanya sudah berada di Dusun Kadayang
wajib berfoto disini yaaa.... :D
Tidak lama setelah kami sampai, terlihat rombongan penduduk Kadayang yang baru kembali dari bukit. Hari itu mereka memang melakukan kerja bakti. Bersih-bersih jalur menuju puncak Uyayah yang ingin mereka kembangkan menjadi obyek wisata. Salah satu dari mereka menunjukkan padaku video kegiatan kerja bakti dan pemandangan dari puncak Uyayah. Mereka juga baru selesai membangun sebuah pondok untuk bersantai menikmati keindahan Pegunungan Meratus di jalur menuju puncak Uyayah. Wah, berarti kami pengunjung pertama nih!
Kami sempat disarankan untuk ke puncak Uyayah besok saja. Namun, kami takut besok pagi turun hujan. Belum lagi besok, kami juga harus kembali ke Banjarmasin. oleh karena itu, kami tetap saja pergi menuju puncak. Ingin menyaksikan sunset di puncak, begitu alasan kami.
Akhirnya, kami berangkat menuju puncak Uyayah ditemani Nadia, Iwus, Yudi, dan Sandi. Mereka berempat adalah siswa SDN Haratai 3, sekolah tempat Dikun mengajar. Tidak lupa kami membawa headlamp agar tidak kesulitan berjalan di hutan ketika pulang nanti.
Trekking bersama anak-anak penduduk lokal?! Aku sih sudah bisa menebak bakal tertinggal jauh dengan mereka. Yupz, ini ketiga kalinya aku trekking seperti ini. Sebelumnya, ketika trekking ke puncak Bukit Ambilik di Desa Batu Panggung dan ke Gua Batu Sawar. Saat aku berjalan dengan ngos-ngosan di tanjakan atau berjalan perlahan agar tidak terpeleset di jalan menurun, bisa-bisanya anak-anak ini melewatinya dengan berlari dan tertawa riang gembira. Mereka yang sejak baru lancar berjalan sudah ikut orang tuanya berhuma di ladang ini memang tidak diragukan lagi kecepatan dan kekuatan kakinya. Kadang, aku merasa tawa mereka mengejek kelambananku.
Setelah melewati hutan, kebun karet, dan huma (sawah di perbukitan), bukit-bukit karst Pegunungan Meratus semakin dekat di depan mata. Kami sampai di depan mulut gua yang katanya menjadi salah satu tempat persembunyian Brigjen Hassan Basry saat perang gerilya. Brigjen Hassan Basry memang pahlawan kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Kandangan. Beliau pula yang memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Proklamasi 17 Mei 1949 (Proklamasi Kalimantan).
salah satu mulut gua Hassan Basry
Gua Hassan Basry, begitu penduduk Haratai 3 menyebutnya. Berbeda dengan gua Batu Hapu, Sawar, atau Kudahaya yang memiliki ruangan berukuran besar dan langit-langit yang tinggi, gua ini lorongnya pendek dengan ruang yang tidak terlalu besar. Mulut gua masuk berukuran kecil, membuat setiap orang yang ingin memasukinya harus merayap terlebih dahulu. Mulut gua keluar juga kecil, bahkan harus memanjat. Jika tidak hati-hati dan masuk tanpa alat pengaman, bisa saja kepala tersantuk, bahkan membuat ornamennya patah.
Akses masuk dan keluar gua bisa dilewati dengan mudah dengan menyisir sisi bukit. Tanpa perlu masuk ke dalam gua, ornamen-ornamen gua yang berupa stalagtit dan pilar batu tetap bisa dilihat. Meski bau guano (kotoran kelelawar) tidak menyengat, terdapat guano di lantai gua yang lembab dan basah.
Ketika aku mengobrol dengan penduduk Haratai 3, mereka sendiri ternyata tidak banyak yang pernah memasuki gua ini. Oleh karena itu, menurutku sayang jika gua ini nantinya dimasuki banyak orang. Gua Hassan Basry cukup dinikmati dari luar dengan diberi papan informasi mengenai kisah sejarah yang pernah terjadi di gua ini. diperlukan juga papan informasi untuk mengedukasi warga dan pengunjung akan pentingnya menjaga kelestarian kawasan karst dan gua agar tidak rusak. Apabila ingin memasukinya untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk pemetaan dan identifikasi gua, dapat menghubungi kepala dusun untuk meminta izin.
Gua Hassan Basry memang bukan gua Altamira, Spanyol, yang harus ditutup agar lukisan-lukisan prasejarah di dinding guanya tetap terjaga dari nafas dan sentuhan manusia. Tapi, tindakan preventif perlu dilakukan sebelum terlambat. Selain gua Hassan Basry, bisa saja masih banyak gua-gua yang lebih besar di sekitar Haratai 3 yang cocok dijadikan gua wisata atau gua minat khusus.
Kalimantan Selatan memiliki kawasan karst yang cukup luas, termasuk di dalamnya gua-gua yang masih perlu diidentifikasi. Perlindungan kawasan karst dan gua-gua yang ada di Kalimantan Selatan pun perlu dilakukan. Ini karena gua memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, baik sebagai gudang air tanah potensial, fasilitas penyangga mikro ekosisten yang sangat peka dan vital bagi kehidupan makro ekosistem di luar gua, laboratorium ilmiah, obyek sosial budaya, maupun sebagai indikator perubahan lingkungan karena gua sangat sensitif dengan perubahan kondisi lingkungan di sekitarnya.
mehanyari pondok :D
Hari mulai gelap. Kali ini, kami tidak ingin memaksakan diri ke puncak Uyayah dan memilih untuk pulang. Kami mampir sebentar di pondok yang baru dibangun penduduk saat kerja bakti tadi. Sayang, harinya mendung. Padahal, dari pondok, selain bisa melihat Bukit Kentawan dan bukit-bukit lainnya, juga bisa menikmati matahari tenggelam. Perjalanan pulang kami pun sempat diwarnai hujan. Untunglah hanya rintik. Jadi, kami tidak sampai basah kuyup saat sampai di rumah.
Sesampainya di rumah, kami mandi, makan malam, dan mengobrol dengan Pak Mudin sekeluarga juga beberapa warga yang mampir. Mereka menanyakan pendapat kami tentang pondok buatan mereka dan kesan setelah pergi ke puncak tadi.

makan malam. baras gunungnya harum dan nyaman banar, jar Didiel!
Kami menginap di rumah Pak Mudin, keluarga angkat Dikun. Pak Mudin memiliki seorang anak laki-laki bernama Pani. Meski di desa ini hanya terdapat sebuah SD, Pani bersekolah hingga jenjang sarjana. Anak-anak dusun Kadayang memang harus berjuang jika ingin bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. SMP terdekat berada di Loksado, ibukota Kecamatan. SMK terdekat memiliki jarak yang lebih jauh lagi. Jika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, minimal ke Kandangan, ibukota kabupaten. Pani bagi kami adalah pemuda yang hebat. Pani merupakan Sarjana Pendamping Desa yang bertugas di Desa Haratai, desanya sendiri. Semoga nantinya lebih banyak lagi pemuda Haratai 3 yang dapat bersekolah tinggi dan membangun desanya.
Dusun Kadayang berpotensi menjadi destinasi wisata. Hanya saja, dengan kondisi jalan yang penuh tantangan untuk melaluinya, memerlukan kerja ekstra untuk mengembangkannya. Ada baiknya dibuatkan paket ekowisata dengan melibatkan penduduk desa. Jadi, produk wisata yang dijual sudah sepaket mulai dari penjemputan di Loksado, guide, akomodasi, beragam destinasi (alam, budaya, dan kehidupan sehari-hari penduduk), oleh-oleh (gelang simpai, kayu manis), hingga kembali lagi ke Loksado. Ketika kondisi jalan sudah bagus dan aman untuk dilewati pengunjung seperti halnya jalur menuju Haratai 1, maka semakin mudah menjadikan Dusun Kadayang sebagai desa wisata yang banyak dikunjungi wisatawan.
“Bawaan kalian banyak sekali. Kayak orang mau pindahan. Kalau kesini lagi cukup bawa pakaian ganti. Ada banyak bantal dan selimut disini,” kata istri Pak Mudin melihat carier/backpack kami yang selain berisi pakaian juga kantung tidur, jaket tebal, bahkan bantal tiup.
Mandi malam dan bolak-balik ke pejijipan ternyata tidak membuat kami menggigil. Bahkan, meski semalaman hujan, suhu udara di desa ini tidak sedingin yang kami bayangkan (membandingkannya dengan pedesaan di sekitar Bromo, Ijen, atau Dieng sih… hehehee).
sedang libur sekolah, jadi bisanya ya berfoto di halaman sekolah bersama salah satu gurunya :D
foto by Iwus, bocah yang antusias menyambut kami selama berada di Haratai 3
Keesokan paginya, kami berjalan-jalan di sekitar dusun. Mampir ke SDN Haratai 3 yang jumlah siswa seluruhnya hanya 36 orang, melihat huma salah satu warga dan berfoto disana, juga menyapa penduduk yang kami lewati. Disini juga ada air terjun. Tapi, berbeda dengan air terjun haratai, riam barajang, riam hanai, atau rampah manjangan. Oleh penduduk, air terjun di desa ini tidak dibuka untuk kegiatan wisata karena menjadi sumber air bersih bagi mereka.
Nyaman rasanya bisa menikmati suasana pedesaan yang sejuk, tenang, dan jauh dari kemacetan. Kami bertanya pada Dikun apakah dia betah tinggal di Haratai 3. Jawabnya, “Betah, kak. Bahkan, kalau nanti balik ke Jakarta atau pulang ke Palembang, aku harus adaptasi lagi karena sudah terbiasa dengan kehidupan di sini.”
bersama Pak Guru Dikun, guide Dusun Kadayang :D
Aku pernah melakukan pengabdian seperti ini. Tapi hanya tiga bulan, sewaktu mengikuti KKN percepatan penuntasan WAJAR DIKDAS 9 Tahun di Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi. Itu juga seringnya tinggal di Kalipuro, ibukota kecamatan yang hanya selama 15 menit perjalanan ke Kota Banyuwangi. Hanya sesekali tinggal di rumah “induk semang” yang amat telaten mengurusi keperluan hidup kami sehingga, setiap kali kembali ke posko di kecamatan, badan terlihat lebih montok karena tidak pernah kekurangan makanan. Hahahaa…
sebelum pulang, berfoto bersama tuan rumah yang sudah
menyambut kami dengan ramah
kalau berkunjung kesini jangan lupa isi buku tamu, yaaa.... :)
Jauh dari keluarga, tinggal di tempat yang asing, beradaptasi dengan budaya, dan berusaha disukai masyarakat agar program yang direncanakan dapat berjalan, semua itu tidaklah mudah. Tapi, jika dijalani dengan enjoy, suka duka itu jadi cerita hidup yang penuh kesan dan takkan terlupa. Namun, jika harus menetap dalam waktu yang lama di daerah 3T, sepertinya aku akan berpikir seribu kali. Menurutku, akan jauh lebih baik jika pemuda seperti Pani lah yang disekolahkan setinggi mungkin untuk kembali dan membangun kampung halamannya.
Perjalanan kami kali ini bukan mengejar obyek wisata. Obyek hanya bonus. Utamanya, kami berkunjung ke tempat ini untuk bersilaturahmi dan refreshing. Menghirup udara sejuk Pegunungan Meratus dan melihat kehidupan penduduk setempat. Syukur-syukur kunjungan kami memberi kesan bagi penduduk Haratai 3, seperti kami mendapat kesan yang baik atas sambutan mereka selama kami disana. Terima kasih.

Traveling – it leaves you speechless, then turns you into a storyteller.
Traveling – it offers you a hundred roads to adventure and gives your heart wings!

Kata-kata Ibnu Batuta ini memang benar adanya. Ada banyak cerita dan pengalaman hidup yang bisa didapat dengan kita melakukan perjalanan. Hal-hal yang kita temui inilah yang memperkaya hidup, mendewasakan, juga membuka wawasan. Dusun Kadayang, Haratai 3, menambah ceritaku akan hal ini.
quote by Pak Altaman, mantan Kepsek SDN Haratai 3 yang dipajang di dinding ruang guru
 Pesan moral yang ingin kusampaikan dalam perjalanan kali ini adalah jangan pernah meremehkan kendaraan dinas (plat merah) dan pengendaranya. Lucu juga menyadari empat buah motor yang kami pakai semuanya adalah motor dinas. Dua diantaranya (motor dinasnya Dikun dan Gino) sudah menjelajahi berbagai wilayah Loksado, termasuk Haratai 3 yang jalurnya termasuk yang paling wow. Dua diantaranya (motor dinasnya Dikun dan Darwin) adalah motor yang dibelinya entah kapan karena modelnya keluaran lama. Hahahaaa…. Tapi motor-motor inilah yang setia menemani pengendaranya menjalankan “tugas negara” demi mencerdaskan anak bangsa dan menjaga kesehatan seluruh warga dalam segala cuaca dan suasana.
puncak Uyayah yang belum sempat kami datangi
Kami berencana melakukan kegiatan bakti sosial berupa penggalangan dana dan buku untuk membangun taman baca Dusun Kadayang. Resminya akan kami informasikan nanti setelah persiapan untuk kegiatan ini direncanakan dengan baik. Nanti kalian ikut berdonasi, ya! J