Wednesday, September 26, 2012

Mewujudkan Impian


Sabtu, 22 September 2012.
Hari itu aku mengundang Kak Rei menjadi pengisi kegiatan Sharing Kepenulisan Klub Mading SMATEN yang berada di bawah binaanku. Sudah pukul dua belas siang dan Kak Rei belum juga datang. Sebelumnya, aku mengirim pesan pendek pada Kak Rei yang dibalasnya...
maket SMATEN karya siswa
                  Sudah dekat.
Well, mungkin sebentar lagi. Aku kembali menunggu kedatangan penulis buku Travellous dan Travelove ini di lobi sekolah.

God! Kak Rei datang naik ojek!!
“Sori, Kak. Aku lupa bilang jangan bawa mobil karena gangnya sempit!”

Ya, aku lupa mewanti Kak Rei untuk cukup naik motor ke sekolah. Gang Gandapura, letak SMAN 10 Banjarmasin ini berada jalannya memang hanya selebar 2,5 meter. Kak Rei mungkin tidak pernah membayangkan ada SMA di ibukota provinsi yang letaknya nyempil di pinggiran kota dan masuk gang sejauh 1 km yang melewati perkampungan dengan penduduk yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani atau penggunting bawang. Sekolah tempat aku mengajar sejak awal 2010 ini juga dikenal sebagai sekolah mewah alias MEPET SAWAH. Tiga penjuru sekolah berbatasan dengan sawah. Penjuru satunya lagi? SUNGAI! Mepet sawah, sekaligus mepet sungai.
foto bareng Ka Andrei Budiman
Sempat harap-harap cemas jika kegiatan siang itu tidak banyak siswa yang berhadir. Namun, alhamdulillah respon anak-anak cukup menggembirakan. Menulis dan membuat mading memang bukan aktivitas yang banyak disuka siswa SMA 10. Terbukti, tahun kemarin dari semua kelas yang mendapat jadwal untuk memajang mading kelas buatannya, hanya dua kelas yang mengumpulkan. Klub mading sendiri hanya sukses membuat mading yang diperuntukkan untuk lomba. Open rekrutmen anggota klub mading yang sasaran utamanya adalah siswa kelas X pun nyatanya lebih banyak dihadiri siswa kelas XI dan XII.

“Dulu, impianku ada tiga. Bikin film, pergi ke Eropa, dan menulis buku. Padahal, sewaktu SMA aku hanya anak biasa. Aku bukan anak orang kaya, bukan siswa pintar, di kelas pun aku duduk di pojok paling belakang. Tapi aku berusaha supaya bisa mewujudkannya. Akhirnya, satu per satu impianku itu terwujud.”

Impian. Kata itulah yang membuat Kak Rei bisa dikenal sebagai travel writer seperti sekarang. Membawaku kembali ke ingatan bahwa aku memiliki impian untuk menjadi seorang penulis. Aku ingat, waktu SD aku pernah menulis cerpen yang cerita tentang persahabatan seorang anak dengan alien (terinspirasi dari film IT dan sejenisnya). Aku juga pernah menulis cerpen tentang action hero yang terinspirasi dari tokoh-tokoh super hero yang kartun selalu menjadi tayangan favoritku kala itu. Memasuki masa puber (SMP-SMA), genre tulisanku pun berubah menjadi teenlit. Tak hanya cerpen, kadang aku pun menulis puisi (yang kebanyakan bercerita tentang kegalauan abege labil. Hahaa…).

salah satu opini yang diabadikan kawan untukku :D
Membuat mading bukan hal asing bagiku. Sejak SMP, jika kelasku mendapat giliran membuat mading, aku pasti jadi salah seorang seksi sibuknya (meski artikelnya hasil guntingan atau copas majalah/buku. Hehee..). Sewaktu SMA, selain mendirikan klub mading SMAVEN, aku juga pernah menjadi tim kreatif buletin sekolah (yang hanya sukses terbit 2 kali karena dana yang minim). Pasca mengikuti sekolah jurnalistik Radar Banjarmasin, aku juga cukup aktif mengisi kolom Radar Muda, setahun lamanya. Sewaktu kuliah, juga sempat bergabung di UKM Penulis UM. Namun, selain tulisanku di Radar Muda (beberapa opini di B.Post juga), tulisan lainnya hanya dibaca kawan-kawan (kalau yang di blog, dibaca orang-orang yang kupaksa untuk baca blogku atau nyasar nemu blogku! :p).

Siang itu, sosok Kak Rei menjadi motivasi tersendiri bagi anggota klub mading untuk terus meraih impiannya. Meski dengan kerjaan yang sepertinya gak ada habis-habisnya, sharing hari itu pun kembali menjadi motivasi bagiku untuk kembali berusaha mewujudkan impian yang belum menjadi kenyataan.

Sunday, September 2, 2012

Lombok: Liburan Irit (^o^)v

Lombok. 3-8 Juli 2012.
*Lama ga ngeblog, belum basi buat diceritakan, kan? hee..*

Sudah sedari kuliah aku ingin menginjakkan kaki ke pulau yang dikelilingi pantai-pantai indah ini. Berawal dari rencana Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis (UKMP) yang akan melakukan penelitian kecil-kecilan di Senaru di tahun kedua kuliah yang batal sampai menjadi seorang guru, baru keinginan itu tercapai.

Sebenarnya sejak dua tahun lalu sudah ada rencana untuk berlibur ke Lombok. Tapi, ada saja halangan. Prajabatan lah, workshop lah. Untungnya tahun ini liburanku hanya diisi dengan rapat panitia MOS dan beberapa waktu sebelumnya Tazani, adik tingkatku semasa kuliah yang asal Lombok namun sedang studi di Yogyakarta mengontakku via BBM.

"Kak, liburan ini jadi ke Lombok? Bulan depan aku pulang bareng teman-teman."

Dapat kabar begitu dari Tazani tanpa pikir panjang aku langsung hunting tiket via internet! Meski harga tiket lumayan mahal karena memasuki holiday season, tapi karena harganya masih masuk akal, tak lama kemudian itinerary reservation ticket pun sudah di tangan. Kalau bukan holiday season mana bisa aku liburan. Namanya juga guru!

Selain Tazani, aku punya sahabat di Kediri, Lombok Tengah, bernama Inggit. Inggit adalah teman pertamaku di Volcano Community (sebutan untuk jurusan kami), begitu juga aku adalah teman pertamanya Inggit. Meski tidak sekelas, kami sering ngrumpi atau jalan bareng bersama teman-teman se-genk lainnya. Hmm... tapi tahun ini bukan tahun yang tepat untuk menjadikan Inggit travel guide selama di Lombok karena dia sedang hamil muda. Jadi, jika obyek yang akan kukunjungi tidak memungkinkan Inggit untuk ikut maka Inggar, Baskoro, dan Afifi yang bertindak sebagai supirlah yang akan menemaniku berwisata.

- at Malimbu -


Meski harga tiket PP Banjarmasin - Lombok saat itu cukup mahal tapi ongkos yang kukeluarkan saat itu cukup irit karena tidak sedikutpun aku keluar biaya untuk penginapan (nginap di rumah Inggit). Panas (Bahasa Lombok: makan) di rumah Inggit (paling keluar duit buat jajan), transport Inggit yang beliin bensin (nasip jadi tuan rumah :p), disewain cidomo tuk keliling kampung, sampai oleh-oleh pun Inggit yang beliin (sampai aku gak enak hati, hehe..). Dodol nangka buatan emak dan Inggar yang aku bantu bungkusi pun ternyata dibikin sebagai oleh-oleh untuk aku bawa pulang ke Banjarmasin. Lucky me! Hahaa...

"Kak, lusa kami mau ke Gili Trawangan. Kakak mau ikut?" ajak Tazani via BBM sambil menanyakan aku sudah jalan kemana saja selama di Lombok. Tazani tinggal di Tanjung, Lombok Utara.

Sudah di Lombok, gak bakal lah aku nolak diajak ke Gili Trawangan. Diantar Inggar, kami pergi ke Lombok Utara lewat Pusuk (jalur tengah). Di Pusuk Pass, kita bisa melihat banyak monyet nangkring di pinggir jalan. Oleh karena itu, daerah ini juga menjadi salah satu obyek wisata andalan di Lombok Utara selain Tiga Gili, Gunung Rinjani, air terjun sendang gile, dan lainnya.

"Mau berhenti dulu buat foto-foto, Mbak?" tanya Inggar kepadaku, kalau-kalau ingin berfoto dengan para monyet hutan Pusuk. Aku menolak. Tanpa bermaksud meremehkan para monyet hutan Pusuk, berwisata dan berfoto dengan para monyet sebagai obyeknya bukanlah hal asing bagiku. Aku sudah sering melakukannya di Pulau Kembang, pulau sedimen yang lokasinya tak jauh dari pasar terapung Kuin.

Sampai di Pelabuhan Bangsal, aku bergabung dengan Wangsa, Dian, Deni, Gofar, Benny, Roji, Dody, dan kawan-kawannya. Tazani gak ikut karena ada urusan yang harus diselesaikannya di Tanjung. Makin merasa jadi yang tertualah aku di rombongan ini (Tazani aja lebih muda tiga tahun dari aku, apalagi Gofar, adiknya dan kawannya! *tepok jidat*).






Selama di Gili Trawangan, lagi-lagi tak banyak biaya yang dikeluarkan. Menginap dan makan di rumah Dodik, nyebrang ke dan dari Gili Trawangan pun kami gratisan karena ada anak salah satu kapten kapal Gili Trawangan di rombongan kami (Roji). Pingin deh sering-sering liburan kayak ini :p

Alat transportasi di daratan Gili Trawangan cuma dua: cidomo dan sepeda. Agar dapat view yang bagus untuk melihat sunset, kami menyewa sepeda untuk sampai di sisi pulau lainnya. Ternyata, bersepeda menyisir pantai bukan ide yang bagus untuk orang yang sudah lama tidak gowes, tanpa pemanasan pula! Capeeeekkk.......banget!! Tapi terbayarkan karena selain pantainya, sunsetnya juga indah banget!

Karena kami sekumpulan orang kere (selain aku yang lain adalah mahasiswa) dan gak bisa berenang, diving bukanlah tujuan kami ke Gili Trawangan. Bagiku, Dian, dan Deni cukuplah melihat keindahan pulau dari daratan dan berfoto-foto (tak ketinggalan cuci mata lihat bule-bule seleweran). Bagi Gofar, Wangsa, dkk cukuplah dugem bareng bule sampai Subuh karena ini bukan pertama kalinya mereka ke Gili Trawangan. Sedang bagi Dodi dan Roji, bisa kembali ke pulau mereka sebelum menjadi mahasiswa perantauan (mereka MABA) pastilah melegakan.

- at pantai Tanjung Aan -

Lihat sunset di Malimbu, nongkrong di Udayana, beli songket di Desa Sade, jadi baby sitter buat Sofia dan Atiya di pantai Tanjung Aan, gowes sampai paha ngilu di Gili Trawangan, ah, masih kurang karena sebenarnya aku pingin banget melihat perkampungan suku Sasak di Senaru dan berfoto dengan Gunung Rinjani sebagai latarnya. Tapi apa daya. Aku harus kembali ke tanah Borneo. Hanya bisa melihat Rinjani dari balik jendela pesawat menyisakan keinginan untuk kembali kesana. Someday.


Kata bapak ketika aku pamit pulang, "Pertama datang kakinya dua. Nanti kalau datang kesini lagi kakinya empat." Bersama pasangan hidup maksud beliau. Amin. Amin. Amin. Karena pasti asyik honeymoon di Gili Meno, yang katanya tempat favorit buat honyemoon diantara Gili lainnya :p

Trims tuk Inggit sekeluarga. Aku seperti menjadi bagian dari keluarga kalian. Jadi tak apa kan nanti nginap di rumah lagi? Ngerepotin kalian lagi? hehee... Trims juga tuk Tazani, Gofar, inak, mamik. Kalau ke Lombok Utara lagi tak apa kan ya aku numpang nginap? :D

*Belajar menenun ternyata alternatif untuk meluruskan tulang belakang. Soalnya, punggung diikat supaya tetap duduk tegak!

Friday, March 30, 2012

SMA untuk Mereka (Cerita dari Sungai Pembunuhan)

Sungai Pembunuhan. Sayang, aku lupa menanyakan kenapa kampung yang terletak di Tinggiran II Luar, Kecamatan Tamban, Kabupaten Barito Kuala tersebut dinamakan demikian. Aku sendiri baru mengetahui keberadaan kampung ini ketika ada penduduknya muncul di reality show Orang Pinggiran dan IndonesiaKu yang ditayangkan di Trans7. Padahal, letaknya persis di seberang Pulau Kembang, salah satu obyek wisata andalan Kalimantan Selatan yang cukup sering kudatangi.

Sabtu, 17 Maret 2011 lalu aku menginjakkan kaki disana, ditemani kedua muridku (AG dan Ade). Aku berencana menemui Acil Niah dan Iwan, anaknya, yang menjadi tokoh di reality show Orang Pinggiran dan IndonesiaKu, serta mengetahui kondisi Kampung Pembunuhan. Survei kecil-kecilan Koin untuk Banua (komunitas peduli pendidikan anak Banua yang kudirikan bersama kawan-kawan) sekalian nge-bolang. Aku tidak berani menjanjikan apa-apa kepada mereka, tapi semoga kunjunganku kesana ada manfaatnya bagiku, kedua murid yang kuajak, juga mereka.

Ditemani kedua muridku (AG dan Ade), kami sempat sangsi bisa sampai disana tanpa mengalami kesulitan. Pagi sebelum berangkat, aku goggling untuk mencari peta daerah setempat tapi nihil. Untungnya, aku kontakan dengan Mas Budi, salah seorang kru Trans7 yang memberiku alamat acil Niah. Sebelum sempat menyeberang di pelabuhan feri Kuin yang terletak tidak jauh dari makam Pangeran Suriansyah (Raja pertama Kerajaan Banjar), Pak Arul yang juga penduduk Sungai Pembunuhan menjemput kami di pelabuhan kelotok yang terletak persis di seberang makam Pangeran Suriansyah. Sepeda motor kami taruh di parkiran makam dan mulailah kami nge-bolang.

Waktu tempuh untuk mencapai Sungai Pembunuhan dengan naik klotok tidak sampai sepuluh menit. Di tengah perjalanan, kami bisa melihat monyet-monyet Pulau Kembang menyambut para wisatawan yang datang untuk mengunjungi mereka. Setelah hanya melihatnya jika berkunjung ke Pulau Kembang, akhirnya aku menginjakkan kaki juga di kampung yang banyak penduduknya mendirikan rumah panggung di atas sungai dan antar rumah dihubungkan dengan titian dari kayu ini.

Kami diantar Pak Arul langsung ke rumah Acil Niah.

“Iwan di sekolah,” kata Imay, adik Iwan yang paling besar, kelas 4 SD.

Acil Niah lalu mengantar kami ke sekolah Iwan, SMPN 3 Tamban, yang berjarak sekitar tiga menit berjalan kaki. Selain menemui Iwan, sekalian saja aku mengobrol dengan guru-gurunya, mumpung mereka masih berada di sekolah.


Berdasarkan cerita guru-gurunya, secara akademik Iwan standar lah. Tidak menonjol, tidak pula berada di urutan bawah. Namun, Iwan menonjol di bidang seni. Iwan piawai menciptakan lagu juga bermain drama/teater. Iwan ingin sekali bisa ikut sanggar drama, namun apa daya, di Tinggiran II Luar tidak ada tempat semacam itu. Oh ya, lagu ciptaan Iwan pernah dibeli oleh band asal Medan seharga dua juta untuk satu album. Iwan juga menyanyikan beberapa bait lagu ciptaannya di hadapan kami. Lagu ciptaannya itu mengingatkanku akan band ST 12 atau Kangen Band karena nadanya yang Melayu mendayu-dayu.


“Uangnya dipakai buat bayar hutang, membaiki rumah, dan modal jualan,” jelas Iwan saat kutanya dia gunakan untuk apa uang hasil penjualan lagu ciptaannya itu.

Bagi yang belum tahu kisah si Iwan, sepulang sekolah Iwan biasanya jualan aksesoris perempuan seperti ikat rambut dan bando keliling kampung. Berjalan kaki 10-20 km menjajakan jualan sudah biasa bagi Iwan. Tapi, sudah beberapa hari Iwan libur jualan. Selain untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian sekolah, Iwan sedang kehabisan modal.



Selain berbincang dengan keluarga dan guru-guru Iwan, aku juga diajak Pak Arul bertemu dengan ibu Muzakkir. Suami beliau lah (Pak Muzakkir) yang selama ini menghubungkan warga kampung dengan kru Trans7. Saat itu Pak Muzakkir sedang berada di Jakarta, makanya istri beliaulah yang menceritakan banyak hal tentang pendidikan dan kondisi sosial kampung tersebut.

Selain berbincang di rumah beliau, Bu Muzakkir yang menutupi kehidupan keluarganya dengan berjualan makanan untuk sarapan (seperti buras dan lontong) membawaku bersilaturahim ke rumah Lini, siswi kelas XII MA Nurul Khair, Subarjo. Menurut cerita bu Muzakkir, rumah orang tua Lini pernah mendapat janji akan dibedah saat mendapat kunjungan dari orang kabupaten karena kondisinya yang memang memprihatinkan. Tapi, sampai sekarang hal itu belum terealisasi.

Tidak seperti kebanyakan anak usia SMA di kampung tersebut, Lini cukup beruntung karena tetap bersekolah. Padahal, orang tuanya hanya buruh tani yang penghasilannya kadang tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Karena dia ingin sekali sekolah, maka apapun kami usahakan demi dia,” begitu kata orang tuanya.

Alasan mengapa banyak anak di kampung ini tidak melanjutkan ke jenjang SMA/sederajat sebenarnya tidak hanya karena masalah ekonomi. Tidak adanya SMA/sederajat di kampung tersebutlah faktor utamanya. Tidak seperti SD atau SMP negeri yang berlokasi di kampung tersebut, SMA/sederajat terdekat dari kampung tersebut berjarak sekitar 1 jam perjalanan mengenjot sepeda, itu pun dengan kondisi jalan yang tidak karuan.

“Jarang sepeda Lini benar-benar bersih akibat jalan yang berdebu di musim kemarau dan berlumpur di musim hujan,” begitu curhat ibunya.

Selain MA Nurul Khair, pilihan terdekat lainnya adalah menyeberangi Sungai Barito, yaitu bersekolah ke Banjarmasin. Namun, tidak semua penduduk sanggup menyekolahkan anaknya ke sana. Selain karena biaya sekolah di Banjarmasin yang cukup tinggi (sebagai pembanding, untuk iuran komite di sekolah Lini Rp 30.000/bulan, SMA tempatku mengajar termasuk yang termurah di Banjarmasin, Rp 90.000/bulan), mereka harus memperhitungkan ongkos klotok pergi pulang ke sekolah yang berkisar Rp 70.000 – Rp 80.000/bulan, belum uang perjalanan menuju sekolah (karena SMA yang berada di sekitar sana tidak ada yang terletak di pinggir sungai), serta uang jajan. Sedikitnya Rp 600.000/bulan harus disisihkan jika ingin menyekolahkan anak mereka ke Banjarmasin.

Perjalanan ke Banjarmasin sebenarnya bisa dilakukan lewat jalan darat, yaitu memutar cukup jauh melewati jembatan yang ada di Banjar Raya (dekat pelabuhan Trisakti). Pilihan ini tentu juga sulit karena sarana transportasi yang mereka miliki terbatas. Hal-hal inilah yang memberatkan bagi pendudukan kampung yang mayoritas berada di bawah garis kemiskinan untuk menyekolahkan anak mereka ke jenjang SMA/sederajat.

.Aku yakin, anak-anak di kampung ini memiliki semangat yang tinggi untuk bersekolah. Aku sempat bertanya kepada Iwan, kalau dia memiliki kesempatan untuk bersekolah ke Banjarmasin, bagaimana cara dia mengusakan untuk pergi pulang ke sekolah.

“Aku akan bersepeda ke sekolah, Kak. Tidak apa jauh, yang penting aku sekolah.”
“Jika tidak bisa bersekolah ke Banjarmasin?”
“Aku ikut sekolah paket atau sekolah terbuka yang ada di Tamban. Jadi, aku tetap bisa sekolah dan jualan.”

Ah, ingin sekali aku menunjukan kepada murid-muridku yang sering membolos atau kurang perhatian saat mengikuti pembelajaran betapa beruntungnya mereka karena bisa bersekolah dengan fasilitas yang layak. Bukankah merugi jika menyiakan ilmu yang diberikan oleh para pendidik serta jerih payah orang tua demi membiayai pendidikan kita?

Sungai Pembunuhan bukanlah kampung terpencil yang berpenduduk sedikit dan sulit didatangi. Sinyal telepon seluler yang memungkinkan anak-anaknya mengakses jaringan internet untuk ber-facebook-an saja dapat mudah diterima. Selama disana, aku tidak kesulitan ‘berselancar’ dengan Blackberry-ku Sangat disayangkan bukan jika anak-anak yang memiliki semangat begitu tinggi untuk menuntut ilmu seperti mereka harus putus sekolah karena ketiadaan biaya dan sarana/prasarana?

Sunday, January 29, 2012

Koin untuk Banua: Tidak Sekadar Komunitas

Masih ingat dengan komunitas pengumpul koin (duit receh) untuk membantu pendidikan anak-anak kurang mampu bernama Koin untuk Banua (KUB)? Beberapa bulan lalu aku pernah posting blog tentang komunitas yang aku bentuk bersama adik-adik kelasku ini. Alhamdulillah, memasuki Hari Perhitungan Koin (HPK) atau kalau merujuk Coin a Chance yaitu kegiatan Coin Collecting Day (CCD) ke-6, KUB udah banyak kemajuan.


Komunitas kecil yang kami bentuk pada 28 Mei 2011 ini sekarang punya 3 adik asuh. KUB telah beberapa kali melakukan bakti sosial (ke Yayasan Anak Bangsa dan Sekolah Bawang). Dropzone dan donatur KUB juga terus datang silih berganti. Bahkan, KUB telah beberapa kali tampil di media massa (koran, radio, juga TV lokal!). Keren ya?! Hehe…


Tadi pagi, setelah melakukan HPK #6 di car free day Sabilal/Siring Sudirman, tim KUB pergi bareng ke rumah Iman, salah satu adik yang menjadi target KUB (cerita tentang Iman bisa dibaca di sini) untuk survei. Setelah mengetahui lebih banyak tentang kondisi keluarga Iman dan tahu Iman perlunya sepeda baru atau cukup memperbaiki sepedanya yang rusak, kami sepakat untuk membelikan Iman sepeda baru serta memperbaiki sepedanya yang rusak dengan uang donasi dari para coiners (sebutan kami untuk para donatur baik yang nyumbang pakai duit receh ataupun duit kertas) yang telah terkumpul.


Kenapa selain memperbaiki sepeda Iman kami juga membelikannya sepeda baru? Soalnya, sepeda pemberian temannya di sekolah itu meski masih layak pakai tapi sudah kekecilan untuk Iman. Sepeda itu kami perbaiki agar bisa dipakai oleh adik Iman, yang sekarang ke sekolah memakai sepeda lungsuran Kakak Iman -> Iman. Alhasil, terjadi kehebohan kecil saat kami pergi ke toko untuk membelikan Iman sepeda baru. Kami jadi ikut mupenk beli sepeda! Ibnu, Ifit, dan Riani bahkan bergiliran ‘mehanyari’ sepeda baru Iman (maafkan kakak-kakakmu ini, ya Iman). Hahahaa…

oich, ada cerita mengharukan tentang kakaknya Iman. Kakak Iman juga salah seorang siswa yang cerdas di sekolahnya. Ketika akan melanjutkan ke bangku SMA, kakak Iman mendaftarkan diri ke SMF. Dia lulus tes masuk. Juara kedua malah! Akan tetapi, karena diharuskan membayar uang daftar ulang sebesar 5 juta rupiah, dia pun mengurungkan niatnya untuk bersekolah di sana. Sekarang kakaknya Iman bersekolah di SMA PGRI 2. Karena tergolong siswa yang tidak mampu, dia tidak dibebankan untuk membayar uang pendaftaran. Bahkan, untuk meringankan pembayaran iuran sekolah, sepulang sekolah kakaknya Iman bekerja dulu menyapu sekolah, baru pulang. *terharu*

Bagiku, KUB tidak hanya sebuah komunitas yang terinspirasi dari gerakan Coin a Chance yang sudah tersebar di banyak provinsi/kota di Indonesia, juga di Eropa, untuk memberi kesempatan kepada anak-anak tidak mampu untuk mengakses/memperoleh pendidikan dengan lebih baik. Tidak juga sekadar komunitas yang kadang jadi ajang temu kangen para anggotanya (karena terbentuk dan berkembang lewat jejaring sosial). Bagiku, KUB adalah keluarga.

Kami, baik sesama tim, para coiner/donatur, juga adik-adik asuh adalah keluarga. Aku belajar untuk lebih peka dengan keadaan sekitar (meski masih kesulitan menemukan calon adik asuh, hikss!!). Tentunya, aku juga belajar untuk lebih bersyukur serta berbagi nikmat yang diberikan oleh-Nya. Oleh karena itu, aku berharap KUB makin solid dan eksis. Berharap, makin banyak orang Banua yang membantu KUB agar dapat memberikan lebih banyak lagi sumbangsih bagi pendidikan di Banua kita yang tercinta ini.


blog Koin untuk Banua (klik di sini)

Weekend on Malang

Saat adingku bilang dia dan kawan-kawan sekantor mau berlibur ke Malang saat long weekend (21-23 Januari 2012), tanpa pikir panjang aku bilang kepadanya, “Aku ikut ya!” Apalagi ketika itu mereka berencana untuk singgah ke G. Bromo, tempat yang pernah punya kenangan cukup manis untukku bersama seseorang (meski akhirnya batal karena erupsi G. Bromo yang akhir-akhir sering terjadi).

Setelah menyelesaikan studiku di FMIPA Universitas Negeri Malang jurusan Geografi dan kembali ke Banjarmasin, belum pernah sekalipun aku kembali ke Malang. Jadi, tentulah aku mupenk buat ikutan, apalagi segala akomodasi dari keberangkatan sampai kembali lagi ke Banjarmasin ada yang nanggung (hehe..!!). 2,5 tahun berlalu, ternyata banyak perubahan wajah Kota Malang. Aku pangling! Sampai-sampai ketika mau mampir ke Asrama Kayuh Baimbai Putri (asrama mahasiswa milik PemKo Banjarmasin, salah satu tempat yang pernah kuhuni selama di Malang) kami kelewatan gang! Gerbang gangnya berubah. Di seberang gang yang dulunya rumah dan warung pun sekarang berubah menjadi supermarket. Pusat perbelanjaan semakin banyak, pilihan tempat buat makan dengan harga terjangkau kantong mahasiswa namun tetap bisa kenyang dengan suasana cozy makin beragam, kampus-kampus semakin megah, bahkan toko buku diskon langgananku pun semakin luas. Huuuaaaa….. mupenk pingin kuliah lagi di Malang!

Sebenarnya weekend kali ini lebih banyak kami habiskan di Batu (Jatim Park 1, villa keluarganya Pak Topan yang ga jauh dari pemandian air panas Cangar, dan Cangar). Tapi, karena aku punya misi ingin borong buku di toko diskon langgananku dan mampir ke dojo tempat aku dulu berlatih aikido, aku pun bela-belain numpak angkot dari terminal Batu untuk turun gunung. Fiuh, rasanya naik angkot dari dulu sampai sekarang ga berubah! Sesak, pengap, apalagi karena long weekend Batu jadi macet ga ketulungan. Sukses bikin aku ngantuk dan menjadi teramat lapar!

Aku dijemput Didik (rekan traveling & kuliner di Malang) di depan komplek Bumi Asri (aku sempat tinggal selama enam bulan di sana). Hahaha… saat aku bilang lapar dan mau makan, Didik tahu betul kemana harus membawaku ngisi perut sampai kenyang. SS di SoeHat jadi pilihan. Ini sukses bikin adingku yang tetap bersama rombongan di Batu ngiler abis. Soalnya, warung steak ini salah satu tempat favorit kami berkuliner selama kuliah dulu.

-- kalap belanja buku --

Cuma beberapa jam di Malang tentu ga akan mengobati rasa rindu dengan kota yang kadang dingin banget (terutama ketika musim MABA –mahasiswa baru-) kadang terik banget (sampai harus sering mengoleskan handbody lotion untuk menjaga kelembaban kulit) ini. Meski begitu, aku sukses kalap sampai bangkrut karena borong buku di Toga Mas (mission complete jika saja ada stok buku Manusia Setengah Salmon yang selain aku, siswa-siswaku juga nitip beli karena di sana harganya jauh lebih murah daripada di toko buku di Banjarmasin). Sayangnya, selama di sana aku cuma bisa bertemu dengan Didik, Zami, dan melepas kangen dengan ading-adingku di asrama putri (Wenda, Ovie, Eza, Gitya). Ga ketemu arek-arek volcano community, apalagi dengan dosen-dosen. Semoga secepatnya aku bisa kembali lagi ke Malang. Baik sekadar berlibur atau kuliah lagi di sana. Amin.

-- sebenarnya ini kali pertama aku ke Jatim Park, hahaa... --

Sunday, January 15, 2012

Ikatan Geograf Indonesia (IGI) Regional Kalimantan Selatan

Tidak banyak yang aku ketahui tentang Ikatan Geograf Indonesia (IGI) meski pernah bertemu dengan Ketua IGI Pusat (Bapak Prof. Dr. H. Suratman, M.Sc) ketika mengikuti kongres Ikatan Mahasiswa Geografi Indonesia (IMAHAGI) di Universitas Gajah Mada 22-24 Februari 2008, hampir 4 tahun yang lalu. Dibenakku, mayoritas anggota IGI pastilah para dosen atau praktisi geografi. Jika pun ada anggotanya yang guru geografi, jumlahnya tidaklah banyak. Untuk mencari informasi tentang keanggotan IGI ini pun relatif sulit.

Ikatan Geograf Indonesia sebenarnya sudah familiar di telinga. Bagaimana tidak, salah satu definisi geografi yang dirujuk di buku-buku perkuliahan/pelajaran berasal dari hasil semiloka Ikatan Geograf Indonesia di Semarang tahun 1988 (Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan atau kelingkungan dalam konteks keruangan). Tapi yang aku ketahui hanya sampai disitu.

Beberapa waktu lalu aku mendapat join invite menjadi member di facebook IGI Kalsel. Tidak lama kemudian, kawan sesama guru geografi yang alumni Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) mengabariku bahwa kepengurusan IGI Kalsel telah dibentuk dan aku diajak ikut ‘meramaikan’. Tentu saja aku semangat, apalagi aku bukan alumni UNLAM. Menjadi anggota IGI Kalsel membuka kesempatan untukku mengenal ‘geograf’ yang ada di tanah kelahiranku ini.

IMAHAGI membuatku memiliki kawan-kawan sesama mahasiswa geografi dari berbagai daerah di Indonesia (meski aku ikutnya ketika hampir menyelesaikan studi Pendidikan geografiku di Universitas Negeri Malang. Fiuh!). Harusnya aku juga memiliki banyak ‘kawan seperjuangan’ di kampung sendiri kan ya?! Hee… Makanya ketika mendapat tugas mengikuti BIMTEK guru Geografi se-Kalsel aku semangat sekali untuk ikut (meski harus merelakan separuh masa liburan kenaikan kelas. Hikss!). Alhamdulillah, sampai sekarang aku masih saling kontak dengan beberapa kawan sesama guru Geografi pasca BIMTEK tersebut.

Gebrakan dari IGI Kalsel yang baru terbentuk, pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IGI XV di Universitas Pendidikan Singaraja (UNDIKSA) Bali, 21–23 Oktober 2011 lalu, Pak Nasruddin Luthfi selaku Ketua DPW, salah satu dosen prodi Pendidikan Geografi FKIP UNLAM, memberanikan diri menjadikan IGI Kalsel tuan rumah PIT IGI berikutnya (tahun 2013). Menurutku dan kawan-kawan sih ini nekat. Tapi, semoga PIT IGI XVI ini menjadi pemicu semangat dan optimisme geograf Kalimantan Selatan untuk menghidupkan IGI Kalsel dan ikut serta memberikan sumbangsih terbaik bagi Banua. Semangat yang pernah kulihat ketika kawan-kawan berjuang menghidupkan kembali IMAHAGI Regional dan IMAHAGI Pusat yang mati suri hingga bisa eksis seperti sekarang.

Bagi kawan-kawan alumni yang ingin bergabung dan mendapatkan kartu keanggota IGI Kalsel bisa menghubungi Pak Arif Rahman Nugroho (dosen prodi Pendidikan Geografi FKIP UNLAM). Info lebih lanjut bisa join di dengan meng-add akun facebook IGI Kalsel atau facebook grup IGI Kalsel

Foto-foto kenangan bersama kawan-kawan IMAHAGI

Field Trip to Lab. Alam Parang Tritis on Kongres IMAHAGI 22-24 Februari 2008 di Yogyakarta

Pelantikan Pengurus IMAHAGI Pusat di Universitas Negeri Semarang, 11 April 2008

Bakti Lingkungan menanam pohon bakau dan nyamplung di Kab. Kendal Jawa Tengah, 12 April 2008

Serunya menanam bakau di pantura Kab. Kendal Jawa Tengah bersama kawan-kawan IMAHAGI, 12 April 2008