Monday, May 14, 2018

When in Nanjing (part 1)

Kangen Nanjing! Itu alasan aku menuliskan lagi (sebelumnya di instagram @fa_amelia dengan hastag #fa_story #wheninnanjing) pengalaman saat berada di Nanjing setahun yang lalu. Sekalian mengisi lagi blog yang sudah lama terabaikan ini (^.^)v Bagi kalian yang membacanya, semoga bisa menambah informasi dan motivasi untuk juga bisa berada di sana dan merasakan pengalaman yang lebih seru dibandingkan aku kala itu. Happy reading… J

Welcome in China!
Mengunjungi negara yang yang perkembangan ekonomi dan teknologinya melesat cepat sukses membuatku merasa "kidu". Hal ini kualami ketika berada di Cina, setahun yang lalu saat menjalani sandwich programe selama hampir 2 minggu di Nanjing Agricultural University (NAU). Maklum, stempel di pasporku baru satu negara itu. Sebagai anak Kalimantan yang jalan-jalannya seputaran bukit, air terjun, hutan, dan kota yang minim gedung-gedung tinggi, jalan raya yang lebar dan mulus, dan belum pernah merasakan serunya naik kereta bawah tanah (metro), aku jadi terkagum-kagum menyaksikannya. Kapan ya Banjarmasin bisa seperti ini?!

Jumat, 9 Juni 2017
Kala itu kami (10 orang mahasiswa cantik dan kece dari Prodi Pendidikan Geografi Kelas Kalimantan Selatan Pascasarjana Universitas Negeri Malang) sampai di Pudong Airport, Shanghai, pada dini hari. Alhamdulillah, meski harus antri panjang bersama WNA lain kami tidak mengalami kendala saat melewati imigrasi. Petugas counternya sih tersenyum memandangi kami bersepuluh yang badannya kecil-kecil (untuk ukuran mereka, hahahaa…). Mungkin antara heran dan takjub karena ada 10 perempuan dini hari datang ke negara mereka dari negeri yang jauh untuk menuntut ilmu J Untungnya Wang, mahasiswa yang bertugas menjemput, sudah tiba sehingga kami bisa langsung menuju bus untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Nanjing.
Keluar dari area Pudong Airport, Shanghai, mata langsung disuguhi banyak gedung-gedung tinggi meski hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Bus yang menjemput kami langsung melaju di express way menuju Nanjing tanpa ada Shanghai city tour sehingga aku tidak bisa melihat banyak kenampakan Kota Shanghai L Pemandangan selama perjalanan sebenarnya asik buat dilihat meski pagi itu sedikit berkabut. Rumah susun/apartemen hingga belasan tingkat, expressway-overpass-jalan raya yang semuanya mulus-mulus, dan favoritku adalah jalur hijau di tengah dan tepi jalan yang semuanya rimbun-rimbun menyelingi kenampakan buatan manusia yang terdapat di sepanjang perjalanan. Mungkin karena lama-lama pemandangannya terasa monoton, mataku minta dipejamkan. Cuma sesekali bangun saat bus singgah di rest area hingga akhirnya kami tiba di dormitory kampus.

Welcome in Nanjing!
Nanjing dikenal sebagai ibukota Cina Kuno. Kuno karena Nanjing memang sudah berdiri sejak tahun 400 SM. Kota ini pernah menjadi ibukota 10 dinasti yang ada di Cina sebelum dipindahkan ke Beijing. Nanjing ini luas kotanya sepuluh kali lebih besar dari Jakarta. Syukurnya, transportasi umum di kota ini nyaman dan aman. Bermodalkan peta, beberapa RMB (Yuan), dan kemauan untuk melangkah yang banyak (jalan kaki) kita sudah bisa menjelajahi banyak tempat di Nanjing. Jadi, mumpung di Nanjing, sayang banget jika tidak diisi dengan menikmati kota yang bikin aku akhirnya kangen untuk kembali ke sana.
Jika ke Nanjing, asyiknya jalan-jalan kemana saja?!
Menurut Wei, teman yang menjadi guideku di sana, 3 tempat yang wajib didatangi saat berada di Nanjing adalah Dr. Sun Yat Sen Mausoleum, Fuzimiao (Confucius Temple), dan Nanjing Massacre Memorial. Kenapa? Karena ketiga tempat ini memiliki nilai sejarah yang penting, khususnya bagi Nanjing.

Minggu, 11 Juni 2017
Dr. Sun Yat-Sen Mausoleum

Dr. Sun Yat-Sen Mausoleum ada di top list travel bucket list-ku. Untuk sampai ke tempat ini susah-susah gampang karena tidak ada stasiun metro di sekitarnya. Aku beruntung karena mausoleum ini ada di daftar kunjungan kami saat fieldtrip. Dari kampus, kami pergi menggunakan bus bersama rombongan dari Kenya yang saat itu sedang berkunjungan ke NAU beberapa hari.



Siapkan stamina jika ingin mengunjungi tempat ini karena lokasi mausoleum berada jauh dari parkiran kendaraan. Kita akan melewati hutan yang rimbun, pasar souvenir, dan puncaknya adalah menapaki sekitar tiga ratusan anak tangga! Saat itu, sedang musim panas dan bulan Ramadhan. Untungnya aku membawa topi dan kacamata meski harus menahan haus karena berpuasa. Tapi, pemandangan yang disajikan tidak akan mengecewakan. Hembusan angin sejuk yang bertiup di sekitar Gunung Ungu (Purple Mountain/Zijin Mountain) sehingga mengurangi teriknya sinar matahari saat menikmati kawasan Dr. Sun Yat Sen Mausoleum ini.



pasar souvenir di kawasan Sun Yat Sen Mausoleum
Hal menarik saat berada di sini (di tempat lainnya juga sih) adalah sering diperhatikan banyak orang. Sebabnya adalah jilbab yang kami kenakan (dan hebohnya kami saat foto-foto :p). Sampai-sampai ada pasangan suami istri dan seorang nenek yang bela-belain minta foto bareng dengan kami. Jumlah muslim di kota ini memang tidak banyak. Alhamdulillah selama di Nanjing kemana pun aku pergi, sendirian atau rombongan, meski sering dilirik karena jilbab yang dikenakan namun tidak pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan. Mereka hanya penasaran dan ingin tahu karena tidak biasa melihatnya.

Rabu, 14 Juni 2017
Xinjiekou Business Centre
“Aku akan mengajakmu short trip ke beberapa tempat di Nanjing,” begitu kata Wei ketika kami bertemu. Wei saat itu baru pulang kerja. Mengetahui aku sudah berada di Nanjing, dia mengajakku untuk bertemu. Karena aku belum berani bepergian tanpa ditemani guide, kami janjian bertemu di stasiun metro dekat kampus. Mendengar kata mau jalan-jalan ke kota yang lain (Ka Opy, Anna, Anisah, dan Ipeh) antusias untuk ikut.
Aku berkenalan dengan Wei melalui instagram beberapa minggu sebelum berangkat ke Nanjing. Kulihat dari foto-foto yang dipostingnya, Wei suka jalan-jalan. Terbukti, Wei memang teman yang menyenangkan. Dia juga bisa menjadi guide yang asyik dan informatif. Sampai saat ini kami masih saling bertukar kabar.
belajar menggunakan mesin koin metro
Perjalanan kala itu betul-betul short trip karena sudah malam. Kami pergi setelah buka puasa dan sholat magrib, sekitar pukul 8 pm, dan tentunya pulang sebelum tengah malam. Musim panas membuat panjang malam (gelap) lebih pendek dibandingkan siang (terang). Jadwal berbuka puasa saat itu sekitar pukul 7.20 pm.
“Aku tidak bisa sering-sering menemanimu jalan-jalan karena bekerja. Jauh-jauh ke Nanjing rugi kalau kamu tidak jalan-jalan. Aku akan mengajarimu cari naik metro. Perhatikan!” Wei mengajariku cara membeli koin untuk membayar metro melalui mesin penjual dan memahami jalur metro. Ternyata mudah. Jauh lebih mudah dibandingkan memahami cara menggunakan busway di Jakarta, menurutku.


Tujuan pertama kali adalah Xinjiekou Business Centre. Kekiduan kami kembali terlihat di sini. Menaiki eskalator menuju permukaan, kami disambut dengan gedung-gedung tinggi berhiaskan lampu warna-warni. Melihatnya, kami ternganga! (hahahaaa…)
“Harap maklum ya, Wei. Kalimantan gak punya gedung-gedung yang tingginya kebangetan kayak di sini,” begitu kataku kepada Wei.
Terdapat banyak shopping mall di sini. Kami hanya mampir ke Shopping Lady, pusat perbelanjaan bagi kalangan yang punya budget minim seperti kami. Itu pun Wei tidak memberi kesempatan untuk cuci mata lebih lama.
“Mari kita pergi ke tempat berikutnya! Kalian bisa kembali ke sini untuk berbelanja lain kali,” Wei lalu mengajak kami kembali ke bawah tanah untuk naik metro.




Fuzimiao Scenic Area
Wei mengajak kami ke Fuzimiao. Kawasan ini bisa dibilang pusat wisata di Kota Nanjing. Obyek wisata utama di tempat ini adalah Fuzimiao (Confucius) temple (yang tidak kumasuki karena selalu ramai dan berbayar). Terdapat pula pasar suvenir (tempat favoritnya teman-teman untuk berburu oleh-oleh), pusat perbelanjaan, rumah makan/café, pasar tradisional, dan favoritku adalah sungai Qinhuai dan bangunan kuno di sekitarnya (termasuk big screen wall). Big screen wall lokasinya tepat berada di seberang Fuzimiao temple merupakan dinding layar terpanjang di Cina. Dinding bata berukiran naga ini panjangnya 110 meter, tinggi 10 meter, dan dibangun pada masa Dinasti Ming (tahun 1575).


Kami mengunjungi Fuzimiao 3 kali selama berada di Nanjing. Pertama ya dengan Wei ini, lalu bersama Novie (mahasiswa asal Yogyakarta yang nantinya turut menemani kami jalan-jalan di Nanjing), dan sebelum kembali ke Indonesia. Ngapain sering-sering ke Fuzimiao?! Tiap ke sana ya tujuannya buat beli oleh-oleh! (hahahaaa…). Namun, Fuzimiao punya kesan sendiri untukku. Berada di sana, memandangi Sungai Qinhuai, membuatku merasa dekat dengan rumah. Seperti sedang memandangi Sungai Martapura dari Siring Kota Banjarmasin (Siring Tendean atau Siring Sudirman) :D *padahal Sungai Martapura jauh lebih lebar namun kesan kunonya lebih dapat di Qinhuai.

Sungai Qinhuai dan Big Screen Wall



How to get there:
Jika naik metro, naik line 3 lalu turun di stasiun Fuzimiao (tapi aku lupa keluarnya lewat exit berapa. Seingatku di sini pintu  keluarnya tidak banyak jadi tidak membingungkan).

Confucius Temple
Pasar Souvenir di Fuzimiao Scenic Area



“Satu tempat lagi sebelum kita pulang,” kata Wei kepada kami.
“Kemana?” tanyaku.
“Masjid tertua di Nanjing. Salah satu yang ada di travel bucket list yang ingin kamu datangi selama di Nanjing.”
Aku memang sempat bercerita kepada Wei ingin mengunjungi masjid itu. Jingjue Mosque atau Sanshan Street Mosque, dikenal juga sebagai masjid Zhenghe (Cheng Ho). Masjid Jingjue adalah masjid tertua dan terbesar di Nanjing bahkan di pesisir tenggara. Masjid ini pertama dibangun pada tahun 1388 di masa Dinasti Ming. Pada tahun 1430 Laksamana Cheng Ho memerintahkan untuk membangun kembali masjid ini yang hancur karena kebakaran. Masjid ini juga pernah hancur dalam perang kemudian dibangun kembali dua kali selama Dinasti Qing.
Wei membawa kami menyusuri jalan, tidak kembali ke bawah tanah untuk naik metro. Aku mencoba mengingat jalan yang kami lalui supaya nanti bisa kembali lagi ke sana.

Jingjue, Mesjid Tertua di Kota Nanjing

“Pintu gerbangnya dikunci,” begitu kata Wei setelah kami berada di depan sebuah bangunan kuno. Masjid terlihat sepi karena malam memang sudah cukup larut.
“Sholat tarawih sudah selesai dan mungkin mereka semua sudah pulang,” kataku.
“Ingat lokasinya ya supaya bisa kembali ke sini,” kata Wei. Dia lalu menunjukkan kepada kami tempat makan halal yang ada di sekitar masjid. Cirinya, ada logo halal terpajang di palang.
Jika ada masjid maka di sekitarnya pasti terdapat tempat makan halal. Seperti di Zhujianglu, masjid pertama yang kami datangi di hari pertama kami tiba di Nanjing. Selain terdapat tempat makan, terdapat mini market yang menyediakan produk halal juga di sana. Setiap jumat, ada pasar yang menjual berbagai bahan pangan (seperti daging dan turunannya) di sekitar masjid.
Selama di Nanjing, kami 3 kali berkunjung ke masjid ini. Lokasi Jingjue dan Fuzimiao tidak terlalu jauh sehingga kami selalu menjadikannya satu paket perjalanan.
Masjid Jingjue memiliki luas 4000 meter persegi. Masjid tua ini merupakan cagar budaya dan pusat kegiatan Asosiasi Islam Nanjing. Pada perayaan besar, mesjid ini bisa menampung lebih dari 3000 orang. Sejak awal, mesjid Jingjue memang menjadi pusat kebudayaan Islam di Nanjing. Ada banyak peninggalan budaya berharga di masjid ini, termasuk epigraf penting yang ditinggalkan oleh kaisar. Sebuah gerbang bata dengan ukiran langka dibangun pada tahun 1430. Gerbang sekarang mengalami renovasi dari gerbang asli oleh Asosiasi Islam Nanjing pada tahun 1985.
Tempat wudhu, terutama toiletnya menjadi yang paling nyaman bagi kami selain kamar mandi di dormitory (masjid Caoqiao juga nyaman tapi toilet dan tempat wudhu di masjid Jingjue yang paling nyaman). Alasannya: ada airnya! Kita yang biasa cebok setelah beraktivitas di toilet memang risih kalau tidak ada air. Apalagi Cina di kalangan traveler dikenal memiliki toilet yang jorok. Teman-teman pernah mendapat zonk di hari pertama berada di Cina. Sejak itu, jika tidak terpaksa kami lebih memilih untuk buang air di dormitory saja.

How to get there:
Masjid Jingjue berada di 28 Shengzou Rd, Qinhuai District. Jika naik metro, naik line 1 dan turun di Sanshanjie. Lupa exit berapa karena setiap ke sini selalu dari Fuzimiao (line 3), pulangnya baru lewat Sanshanjie.
Rumah makan di samping Masjid Jingjue
Sebelum berpisah, Wei berucap kepadaku, “Mulai besok, kamu harus berani jalan-jalan sendiri!” Beranikah aku?!


No comments:

Post a Comment