Saturday, December 5, 2015

Berkunjung ke TPA Cahaya Kencana. Tumpukan Sampahnya Mana?

Kamis, 4 Desember 2015 kemarin rombongan guru-guru geografi yang sedang mengikuti pelatihan di Wisma Sultan Sulaiman, Kabupaten Banjar berkunjung ke TPA Cahaya Kencana yang berada di Desa Padang Panjang, Kabupaten Banjar. Kunjungan ini menjadi hiburan tersendiri bagi kami yang sedari hari selasa disibukkan dengan materi dan tugas pelatihan meski pulangnya kami harus menyampaikan hasil kunjungan kami dan mempresentasikannya di kelas (jadi jalan-jalannya bukan sekadar piknik ya…). Apalagi, kondisi TPA Cahaya Kencana ternyata tidak seperti ekspektasi kami sebelumnya.
Iya. Namanya juga tempat pembuangan akhir, tempat dimana semua limbah (sampah) yang ada di wilayah Kabupaten Banjar dikumpulkan. Bayanganku saat itu pastilah akan berkujung ke tempat dimana akan melihat tumpukan sampah menggunung dan banyak pemulung yang memilah-milah sampah. Namun, disana tidak terlihat tumpukan sampah menggunung seperti itu. Kenapa? Karena disini limbah yang terkumpul dikelola dan diolah agar berdaya guna. Padahal, menurut hasil wawancara kepada petugas yang memandu kami, volume rata-rata yang ditampung di TPA ini per hari sekitar 90 ton.


Salah satu bentuk pengelolaan limbah yang ada adalah pengolahan gas metan yang dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan LPG atau bahan bakar lain untuk memasak. Tercatat, 50 KK di Desa Padang Panjang dan 50 KK di Desa Sungai Landas mendapat penyaluran gas metan ini secara gratis meski pemanfaatannya terjadwal (dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore).

kompor gas metan seperti ini yang diberikan kepada masyarakat untuk keperluan memasak
TPA Cahaya Kencana dibangun tahun 2002 dan mulai dikelola rapi tahun 2011. TPA ini dikelola selain menjadi tempat pembuangan akhir juga menjadi kawasan rekreasi dan edukasi lingkungan. Ada green house, hanggar pembuatan kompos, kolam ikan, taman anggrek, bank sampah, dan berbagai fasilitas lainnya yang membuat kita akan segera menghapus bayangan tentang kondisi TPA yang penuh tumpukan sampah, bau, juga kotor. Tertarik untuk berkunjung kesana?


penjelasan dari instruktur




alur pengelolaan sampah di Kabupaten Banjar
peserta pelatihan dan instruktur berfoto bersama sebelum pulang

Wednesday, October 28, 2015

Belajar Speleologi di Gua Wisata Batu Hapu

S 3o07’37,6”
E 115o10’30,2”
Ketinggian: 71 mdpl

Sudah lama punya keinginan kalau jalan-jalan sambil check point koordinat obyek yang aku datangi. Akhirnya kesampaian juga saat ikut ke Gua Batu Hapu bersama Borneo Speleology Community (BSC). Menggunakan GPS (meski bukan aku yang mengoperasikan) akhirnya bisa didapat lokasi astronomis Gua Batu Hapu berada.
Gua Batu Hapu
Kalau secara administratif, Gua Batu Hapu berada di Desa Batu Hapu, Kecamatan Hatungun, Kabupaten Tapin yang berjarak 154 km dari Kota Banjarmasin atau 43 Km dari Kota Rantau (ibukota Kabupaten Tapin). Gua karst ini menarik untuk dikunjungi sehingga menjadi salah satu obyek wisata andalan bagi Kabupaten Tapin. Gua Batu Hapu juga tempat yang menarik bagi mereka yang ingin belajar speleologi (studi ilmiah mengenai gua).
Jum’at, 23 Oktober 2015 kemarin, rombongan dari Borneo Speleology Community (BSC) berkunjung ke Gua Batu Hapu. BSC dibentuk saat Workshop Rencana Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup pada Kawasan Karst di Ekoregion Kalimantan yang dilaksanakan oleh Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan bekerjasama dengan Mapala STIENAS Banjarmasin. Workshop ini sendiri berlangsung selama dua hari (21-22 Oktober 2015). Hari pertama diisi dengan pemaparan mengenai kawasan karst yang ada di Indonesia dan Kalimantan (aku serasa sedang mengikuti kuliah umum Geomorfologi, bikin rindu suasana perkuliahan). Hari kedua diisi dengan diskusi antar instansi pemerintah terkait dan antara LSM, mapala, dan komunitas mengenai rencana pengelolaan kawasan karst (sesuai dengan judul workshop).
Memetakan kawasan karst dan gua-gua
yang pernah dieksplorasi oleh para mapala dan travellers
Berfoto bersama setelah pembentukan Borneo Speleology Community
Kunjungan kami ke Gua Batu Hapu menjadi amat menarik karena diselingi dengan diskusi dengan para nara sumber workshop yang ahli di bidang karst dan eksplorasi gua tentang kondisi gua Batu Hapu. Inilah fungsi dibentuknya BSC, agar penggiat alam bebas maupun pemerhati lingkungan di Kalimantan Selatan memiliki wadah untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan demi kemajuan speleologi dan kelestarian kawasan karst.

diskusi lokasi geografis Gua Batu Hapu dan
belajar menentukan koordinat menggunakan GPS
diskusi mengenai kondisi gua

Gua Batu Hapu merupakan gua yang indah dengan beberapa ruangan besar di dalamnya. Meski dihuni kelelawar, gua ini pun tidak terlalu gelap akibat lorongnya yang tidak terlalu panjang dan memiliki banyak mulut gua. Pada langit-langit gua di salah satu ruangannya juga terdapat lubang yang besar sehingga sinar matahari dapat masuk dan menjadi sumber penerangan bagi isi gua. Selain di depan mulut gua, di ruangan yang berlubang di langit-langitnya inilah spot berfoto favorit bagi para pengunjung.

ornamen yang ada di gua batu hapu
ornamen yang ada di gua batu hapu
































Akses jalan yang bagus dari Kota Binuang ke lokasi gua, fasilitas penunjang seperti loket masuk, parkir, toilet, tangga masuk, bahkan papan peringatan yang berisi kode etik saat berada di gua menunjang gua Batu Hapu sebagai obyek wisata yang potensial untuk dikembangkan agar dapat menarik lebih banyak wisatawan. Sayangnya, tidak semua wisatawan yang datang ke tempat ini sadar bahwa gua merupakan tempat yang rapuh dan harus dilindungi. Sampah-sampah berserakan di lantai-lantai gua. Vandalisme dari pengunjung-pengunjung yang tidak ramah lingkungan pun turut ‘meramaikan’ dinding gua yang tentunya tidak tercipta dalam waktu yang singkat. Ini menjadi PR bagi kita semua untuk tak henti-hentinya mengedukasi siapapun untuk turut menjaga lingkungan (termasuk gua) agar terus lestari sehingga bisa dinikmati hingga generasi yang akan datang.
vandalisme di dinding gua Batu Hapu
vandalisme di gua Batu Hapu
mengangkut sampah yang berhasil dikumpulkan selama kegiatan
Selain Gua Batu Hapu, kami juga caving di gua yang berada tidak jauh dari sana. Gua yang kami kunjungi berikutnya ini sangat menarik bagiku. Selain terdapat banyak kelelawar (dan tentunya guano alias kotoran kelelawar), mulut guanya cukup besar dan memiliki beberapa lorong. Ada lorong yang memiliki aliran sungai bawah tanah, ada pula lorong yang lokasinya lebih tinggi sehingga dapat dimasuki tanpa harus berbasah-basahan.

persiapan dulu sebelum caving
Safety first ya, guys! Pakai helm dan headlamp demi kenyamanan dan keselamatan saat caving.
Kami memasuki lorong gua yang tidak dilalui aliran sungai bawah tanah. Wow. Keren. Amazing. Subhanallah. Allahu akbar! Sebagai seseorang yang masih newbie dan bisa dihitung jari tangan jumlah gua yang pernah kumasuki, gua yang satu ini indah! Apalagi untuk dapat melihat speleotem (ornamen gua, contoh: stalagtit dan stalagmit)  di gua ini, kami sempat harus merayap agar dapat memasuki lorongnya yang sempit. Entah berapa panjangnya gua ini. Bisa masuk dan menikmati sedikit keindahannya saja sungguh pengalaman yang bikin ketagihan! Apalagi untuk menuju ke gua ini tidak perlu acara daki-mendaki seperti ketika ke Gua Batu Sawar yang ada di Desa Salak, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.



berfoto bersama setelah caving
Kalimantan Selatan memiliki kawasan karst yang cukup luas, termasuk di dalamnya gua-gua yang masih perlu dieksplorasi. Perlindungan kawasan karst dan gua-gua yang ada di Kalimantan Selatan pun perlu dilakukan karena gua memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, baik sebagai gudang air tanah potensial, fasilitas penyangga mikro ekosisten yang sangat peka dan vital bagi kehidupan makro ekosistem di luar gua, laboratorium ilmiah, obyek sosial budaya, maupun sebagai indikator perubahan lingkungan karena gua sangat sensitif dengan perubahan kondisi lingkungan di sekitarnya. Hal sepele yang bisa kita lakukan misalnya dengan tidak melakukan vandalisme dan membuang sampah di dalam gua.
Mari kita jaga kelestarian gua dan kawasan karst bersama-sama. Bumi merupakan titipan dari anak cucu kita. Oleh karena itu, pembangunan yang berkelanjutan sangat diperlukan agar sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada sekarang dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.

Foto-foto milik pribadi dan dokumentasi Borneo Speleologi Community.

Thursday, October 15, 2015

Berwisata ke Bukit Matang Kaladan

Riam Kanan di musim kemarau dan diselimuti kabut asap.
View dari Bukit Matang Kaladan
Bukit Matang Kaladan terletak di Desa Tiwingan Lama, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Simpelnya, bukit ini berada di area dermaga bendungan Riam Kanan yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kota Banjarbaru. Aku berkesempatan ke bukit ini kemarin, bersama kawan-kawan kuliah. Tidak sulit untuk menemukan jalur untuk naik ke bukit ini. Puncaknya bahkan terlihat dari area parkir kendaraan. Tinggal tanya dengan tukang parkir atau masyarakat sekitar, mereka pasti akan menunjukkan arahnya.



bersama kawan-kawan yang merasa hidupnya kurang piknik :p
Bukit Matang Kaladan mungkin bukan tempat yang asing bagi anak muda Kalimantan Selatan yang hobi naik bukit. Buktinya, saat aku kesana kemarin banyak anak muda (usia sekolah dan kuliah) yang mengisi libur tahun baru hijriah di bukit ini. Beberapa yang kusapa di mesjid saat beristirahat bahkan bilang mereka berasal dari Kandangan dan Barabai. Bela-belain benar pikirku mengingat disana pun banyak bukit-bukit indah yang asik untuk dikunjungi.

Kalau jarang naik bukit/berolahraga mungkin akan sedikit shock dengan kemiringan lerengnya yang lebih dari 45°. Tapi syukurnya jalur menuju puncak sudah difasilitasi dengan undakan dan tali/rotan yang dibentangkan agar memudahkan pengunjung untuk mendaki. Lama pendakian? Tergantung stamina. Kemarin aku tidak memperhatikan.Tapi kutaksir sekitar 30-45 menit.

Bukit Matang Kaladan bisa dibilang obyek wisata alam yang murah meriah. Cukup membayar retribusi sebesar Rp 3.000 (eh, ini belum biaya parkir kendaraan, ya...) ditambah stamina yang prima dan beberapa botol air mineral, kita bisa menikmati keindahan bendungan Riam Kanan tanpa perlu menyewa kelotok (perahu bermesin).

Untuk mencapai bukit ini ternyata bisa ditempuh melalui dua jalur. Kami mengetahuinya dari pemilik satu-satunya warung yang ada di puncak bukit Matang Kaladan (iya, disini juga ada warung loh meski tak sebesar yang ada di Bukit Batas). Biar tidak penasaran, pulangnya kami melalui jalur yang dimaksud. Benar saja, jalur ini meski lebih jauh, tidak bisa melihat view bendungan Riam Kanan, melewati kebun karet penduduk, tapi landai dan jalurnya bisa dilewati oleh sepeda motor. Cukup mengikuti jalan setapak yang ada, lalu ketika bertemu jalan setapak yang sudah permanen (di semen), belok kanan menuju ke pemukiman.

Jika dilihat dari maraknya foto-foto yang beredar di media sosial, kegiatan tourism di Kalimantan Selatan tak kalah menggeliat seperti daerah lainnya di Indonesia. Seringkali peningkatan ini tidak dibarengi dengan kesadaran untuk semakin menjaga kelestariannya. Membuang sampah sembarangan dan vandalisme adalah contoh yang paling banyak dilakukan. Miris saat melihat banyak sampah berserakan di sepanjang jalur pendakian hingga ke puncaknya. Padahal, sudah tersedia tempat untuk mengumpulkan sampah jikalau malas membawa turun botol dan bungkus makanan yang dibawa ketika naik. Edukasi mengenai kedua hal ini memang melelahkan. Setidaknya kita tidak turut melakukannya.

view dari Bukit Matang Kaladan
Jalur melewati kebun karet penduduk
Ibarat pepatah suku pribumi Amerika,
"We don't inherit the earth from our ancestors. We borrow it from our children. Take care of the earth and earth will take care of you."
"Kita tidak mewarisi bumi dari leluhur kita. Kita hanya meminjamnya dari anak keturunan kita. Rawat bumi ini, maka ia akan merawat kita."

Sebenarnya sempat memfoto jalur pendakian baik lewat jalur pendek yang menguras tenaga dan jalur panjang nan landai melewati kebun karet penduduk. Tapi apa daya, memori card kamera digitalku lagi musuhan sama laptop dan kabel datanya hilang. Jadi mesti cari pertolongan pihak ketiga dulu supaya hasilnya bisa ditransfer.

Ceritaku lainnya di Riam Kanan:
- Berkunjung ke Desa Rantau Bujur eps. Bukit Kapayang
- Berkunjung ke Desa Rantau Bujur eps. Voluntourism
- Bukit Batas

Thursday, July 23, 2015

Gua Batu Sawar



Gua Batu Sawar terletak di Desa Salak, Kecamatan Birayang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Gua ini belum terlalu populer sehingga cukup sulit menemukan gua ini jika pergi tanpa ditemani penduduk lokal atau teman yang pernah kesana. Simpelnya, gua ini belum dikelola oleh penduduk agar dapat menjadi obyek wisata yang menghasilkan.
Gua Batu Sawar, Desa Salak, Kec. Birayang, Kab. Hulu Sungai Tengah
Aku sebenarnya sudah lama ingin ke Gua Batu Sawar. Libur hari raya Idul Fitri kemarin akhirnya kesampaian juga, dengan Yadi, Dayat, dan Ifit yang kami kenal melalui komunitas Backpacker Satayuhnya Barabai sebagai pemandunya.
Kami pergi menggunakan sepeda motor. Trip menggunakan sepeda motor memang lebih disarankan agar bisa memarkir kendaraan tidak jauh dari kaki bukit menuju gua. Dari Kota Barabai ambil jalan menuju Kecamatan Birayang. Sampai perempatan pasar Birayang, tanya saja penduduk sekitar jalan menuju Desa Batu Tangga. Perjalanan menuju Desa Salak cukup mengesankan karena sesekali di kiri jalan kita disuguhi aliran sungai berbatu yang masih jernih, juga sebuah bendungan yang pada hari libur cukup ramai didatangi penduduk untuk berwisata.
Memasuki Desa Salak, tidak jauh dari Poskesdes akan ada jalan setapak yang disemen di sebelah kanan jalan. Jalan setapak bersemen itu akan berakhir di jembatan ayun kecil yang menghubungan dengan jalan setapak di seberangnya. Sampai di titik trekking pertama, sepeda motor bisa diparkir kemudian perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menembus belukar. Yap, jalur menuju Gua Batu Sawar memang akan menguras tenaga. Terutama bagi yang rempong seperti aku. Penggunaan sarung tangan dan tali temali disarankan agar memudahkan perjalanan karena melewati jalur menanjak dan menurun yang curam atau terjal.

     
          Jika bau menyengat kotoran kelelawar mulai tercium maka mulut gua sudah dekat. Berhubung belum banyak gua yang pernah kumasuki, memasuki Gua Batu Sawar yang memiliki ruangan besar dengan tumpukan bebatuan dan langit-langit yang tingginya entah berapa puluh meter membuatku terkesima.
pintu masuk gua batu sawar
Gua Batu Sawar terdiri dari dua ruangan besar. Ruangan pertama memiliki dua lubang besar di langit-langitnya sehingga sinar matahari dapat masuk dan menerangi gua. Bebatuan yang ada pun berukuran besar-besar berwarna kuning dan hijau. Ruangan kedua cahayanya remang-remang. Masuk ke ruangan kedua disarankan untuk menyalakan senter agar tidak terpeleset saat berjalan di bebatuan yang diselimuti kotoran kelelawar. Bagian ujung ruangan terdapat lubang besar (mulut gua) yang mengarah ke tebing. Dari sana kita akan disuguhi pemandangan alam Pegunungan Meratus diselingi kebun atau ladang yang diolah oleh penduduk kampung.

mulut gua di ruangan kedua
       


empat gadis cilik yang bersama kami di gua batu sawar
Saat itu, tidak lama setelah kami sampai di Gua Batu Sawar ada pengunjung lain yang datang. Tidak tanggung, pengunjung lain itu adalah empat orang gadis cilik yang kutaksir baru duduk di kelas 4-5 SD tanpa didampingi orang dewasa. Aku jadi teringat ketika naik ke puncak Ambilik di Desa Batu Panggung, Kecamatan Haruyan. Saat itu kami dipandu oleh anak-anak SD melewati tebing curam dan terjal yang membuatku hampir menangis, padahal anak-anak itu naik dan turun Bukit Ambilik dengan santainya, bahkan sambil berlarian (._.”). Mungkin karena Bukit Ambilik, termasuk juga Gua Batu Sawar ini adalah lokasi bermain mereka, sampai orang tua mereka pun tidak khawatir ketika mereka bermain ke tempat berbahaya seperti ini.
Berkat media sosial seperti facebook dan instagram, Gua Batu Sawar mulai dikenal anak-anak muda di Kalimantan Selatan yang suka petualangan. Sayangnya, tidak semua yang datang ke gua ini berperilaku ramah lingkungan. Coretan hasil vandalisme dapat dilihat dengan jelas di dinding dan batu dalam gua. What a stupid do! Jangan dicontoh yaa…
Sebenarnya hari itu selain ke Gua Batu Sawar kami juga ingin bertandang ke Bukit Batu Kincir di Desa Nateh yang lokasinya tidak jauh dari Gua Batu Sawar. Berhubung stamina sudah terkuras, belum makan siang, dan hari semakin sore, kami mengurungkan niat untuk kembali mendaki. Setelah membersihkan diri di sungai dan mampir di warung untuk makan siang, kami pun kembali ke Kota Barabai. Semoga selalu diberi kesehatan agar bisa kembali mengeksplorasi keindahan kampung halaman tercinta.
Bukit Batu Kincir yang tepat berada di belakang *tapi udah kecapekan*

Bukit Batas, Riam Kanan




Bukit Batas mungkin sudah tidak asing di telinga para pejalan di Kalimantan Selatan. Bukit yang menawarkan pemandangan waduk Riam Kanan ini memang eksotis. Jika hari cerah, kita dapat melihat sunrise dan sunset dari puncaknya. Saat berkemah di sana pun kita dapat menikmati ribuan bintang-bintang di langit karena lokasinya memang jauh dari gemerlap lampu-lampu kota.


Bukit Batas terletak di Desa Tiwingan Baru, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar. Dari Kota Banjarmasin bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat dan dua sekitar 1,5 jam perjalanan ke arah Kota Banjarbaru. Sampai di bundaran Banjarbaru, ambil arah ke SPN kemudian ikuti saja jalan rayanya sampai akhir karena ujung jalannya berada di dermaga penyeberangan menuju desa-desa yang tersebar di sekitar waduk yang resminya bernama Ir. P.H.M. Noor ini.
Aku pertama kali ke Bukit Batas setahun yang lalu, tepatnya pada 1 – 2 Agustus 2014. Bersama kawan-kawan dari South Borneo Travellers sebanyak 25 orang kami berkemah semalam di sana. Untuk kedua kalinya pada 3 September 2014 bersama kawan-kawan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Geografi Kota Banjarmasin tapi tidak menginap. Terakhir sebelum bulan puasa kemarin, tepatnya 23 – 24 Juni 2015 bersama adik, pacar, dan beberapa teman.

kemping seru with SBTers

Dalam setahun Bukit Batas memang banyak perubahan. Dulu, saat masih jalur lama (memutar), trekking santai ke puncak bukit ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam. Di jalur yang sekarang (lewat kampung), waktu tempuh trekking jadi lebih singkat hampir separuhnya. Sebelum Bukit Batas menjadi primadona, jika ingin berkemah di puncak harus membawa peralatan dan perbekalan sendiri. Sekarang ada beberapa penyelenggara open trip siap mengakomodasi apabila ingin berkemah disana. Jika tidak kuat trekking, tinggal hubungi ojek untuk diantarkan ke puncak dengan ongkos Rp 50.000 sekali jalan. Apabila tidak ingin ribet bawa perbekalan dan perlengkapan kemping pun sekarang tersedia persewaan terpal dan warung yang stand by 24 jam bagi mereka yang ingin bermalam di Bukit Batas. WC darurat pun tersedia dan air untuk bilas bisa dibeli di pemilik warung yang menyediakan air bersih dalam botol-botol mineral berukuran 1 liter.
Bukit Batas, 3 September 2014
Saat lagi ramai-ramainya, Bukit Batas bisa dipenuhi oleh lebih dari 500 orang. Terutama pada malam minggu dan hari libur. Inilah yang membuat penduduk kampung membentuk pengelola Bukit Batas agar tetap terjaga dari tangan-tangan pengunjung yang tidak ramah lingkungan. Namun, berdasarkan hasil obrolanku dengan bang Fakhry dari CAMP outdoor rent, salah satu penyelenggara open trip Bukit Batas, popularitas Bukit Batas akhir-akhir ini agak berkurang. Mungkin karena sekarang banyak bermunculan lokasi berwisata lainnya, baik di sekitar waduk Riam Kanan, Mandiangin, dan wilayah lainnya di Kalimantan Selatan yang tidak kalah nge-hits dan kekinian untuk didatangi.
Sayangnya, saat kami berkemah di sana, cuaca sedang kurang bersahabat. Tidak bisa melihat sunset dan sunrise, bahkan pagi sebelum kami kembali ke dermaga hujan sempat turun dengan derasnya. Bukit Batas yang diselimuti kabut seakan berubah menjadi Silent Hills. Hahahaa…

Bukit Batas Berkabut
foto bareng sebelum pulang (^_^)
Semoga Bukit Batas terus menjadi tempat yang indah dan asyik untuk dikunjungi baik bersama teman, sahabat, maupun orang-orang tersayang. Tidak hanya Bukit Batas, semoga obyek-obyek lainnya di wilayah waduk Ir. P.H.M. Noor semakin banyak dikenal dan menarik banyak wisatawan untuk mengunjunginya.

Tuesday, January 27, 2015

Berkunjung ke Rumah Seni Balai Ramang

Senang rasanya saat melihat/mendengar Balai Ramang akhir-akhir ini cukup sering diekspos media cetak dan siaran radio lokal. Jadi teringat waktu berkunjung kesana pada 1 Januari 2015 kemarin. Saat itu belum banyak yang tahu mengenai keberadaan rumah bambu dengan arsitektur unik ini. Kami sendiri tahu setelah Ichunk (pengurus Basecamp Buku Meratus) memajang fotonya saat berada disana sebagai DP BBM-nya. Ichunk sendiri saat itu mengaku baru tahu keberadaan rumah seni ini. Padahal, ternyata Pak Bambang Sujianto (yang membangun Balai Ramang) sudah setahun ini tinggal disana.
burung dari sabut kelapa hasil karya anak-anak Kampung Ramang

Rumah seni (Balai Ramang) terletak di Kampung Ramang, Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Balai Ramang difungsikan tidak hanya sebagai tempat untuk berkesenian, tetapi juga sebagai tempat belajar bagi anak-anak Kampung Ramang. Pada sore atau malam hari banyak anak berkumpul disana untuk belajar bersama untuk membuat prakarya, belajar memainkan gitar, atau membahas pelajaran sekolah.

Pak Bambang sebelumnya bekerja dan berdomisili di Jakarta. Saat kutanya kenapa memilih tinggal di desa yang jauh dari keramaian, beliau menjawab, “Wong urip iku kudu urup. Aku sudah lama hidup di kota besar mengejar materi. Jadi, sekarang waktunya aku mendekatkan diri pada Tuhan, caranya dengan membantu penduduk kampung ini agar bisa hidup tanpa harus bergantung dengan apa yang disediakan oleh alam,” Kurang lebihnya begitu kata beliau saat bercerita pada kami.
Perjalanan ke Balai Ramang bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 1 jam dari Kota Barabai dengan kondisi jalan yang bagus. Patokannya adalah obyek wisata air panas Hantakan (banyu panas). Sesampainya di depan gerbang banyu panas, jangan belok/masuk gerbang tapi lurus saja, ikuti jalan beraspal karena masih akan melewati beberapa kampung, huma (ladang di perbukitan), hutan yang ditumbuhi pohon durian, rambutan, pampakin, dan pepohonan lainnya. Selain itu, mata kita juga akan dihibur dengan pemandangan sungai-sungai yang mengalir di sepanjang tepi jalan. Sangat menyenangkan dan menenangkan meski di musim hujan kita harus waspada karena ada beberapa ruas jalan yang rawan longsor. Sampai di Kampung Cabai, kendaraan bisa dititip parkir di Basecamp Buku Meratus dilanjutkan berjalan kaki sekitar 10 menit ke Balai Ramang. Jika bingung, bisa bertanya dengan penduduk karena Pak Bambang sudah dikenal oleh masyarakat disana.
kolam ikan indukan
Selain Balai Ramang, Pak Bambang yang sewaktu muda pernah menjadi atlet gulat ini juga membuat kincir air yang digunakan sebagai pembangkit listrik bagi rumah-rumah yang ada di Kampung Ramang karena listrik memang belum menjangkau daerah ini. Sinyal operator telepon seluler pun hampir tidak ada. Pak Bambang juga membuat beberapa kolam ikan yang salah satunya sudah menjadi kolam ikan indukan untuk kolam lainnya. Beliau juga berencana untuk mengelola kebun dengan metode hidroponik di sekitar kolam. Semuanya dimanfaatkan untuk menjadi sarana belajar bagi masyarakat di Kampung Ramang dan siapa pun yang ingin berkunjung kesana.

bendungan dan kincir air untuk pembangkit listrik bagi Kampung Ramang
Untuk pendanaa segala pembuatan balai, kincir, dan kolam, selain dari kantong pribadi Pak Bambang juga mendapat bantuan dari kawan-kawannya. Pak Bambang berharap Balai Ramang bisa menjadi tempat belajar bagi siapa pun dan beliau akan sangat senang jika ada yang bersedia menjadi volunteer untuk membantu kegiatan disana.
Pak Bambang Sujianto ternyata alumni SMPP 28 Banjarmasin (sekarang SMAN 7 Banjarmasin).
Bertemu dengan satu almamater sekolah di tempat yang jauh itu menyenangkan :)

Backpacker Satayuhnya Barabai bersama Pak Bambang Sujianto