Thursday, July 30, 2009

Sekolah Gratis Ada dimana-mana*

Dua tahun yang lalu saya mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (WAJAR DIKDAS) 9 Tahun di salah satu kecamatan di Jawa Timur. Ketika kelompok KKN kami menggelar seminar hasil di tingkat kecamatan, saya sempat berbicang dengan seorang kepala sekolah yang menghadiri kegiatan kami itu. Hal yang tidak pernah saya lupa dari perbincangan kami itu adalah pernyataan beliau bahwa sangat sulit mengadakan pendidikan gratis di Indonesia. Lebih mudah mewujudkan pendidikan yang bersubsidi. Artinya, pemerintah memberikan subsidi kepada lembaga pendidikan seperti halnya pemerintah memberikan subsidi BBM. Orang tua siswa yang kaya menyubsidi siswa yang miskin. Soalnya, selain jumlah penduduknya yang sangat besar, negara ini pun bukanlah sebuah negara yang makmur.

Selama KKN, saya pun sempat berbincang dengan para orang tua siswa dan guru. Tidak sedikit dari mereka mengeluhkan pendidikan gratis yang memang sudah diterapkan di kabupaten tempat saya KKN itu. Kata para orang tua siswa, SPP memang gratis, tapi biaya yang dikeluarkan untuk membelikan si anak seragam sekolah, buku-buku pelajaran, dan keperluan lainnya termasuk uang jajan jauh lebih besar daripada biaya SPP. Kata para guru, kalau sekolah tidak meminta pungutan, hanya berharap mendapatkan bantuan dari pemerintah, sekolah kesulitan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran karena bantuan yang diberikan sangat terbatas. Kesulitan itu semakin bertambah ketika sekolah tersebut dari awal sudah minim sarana dan prasarana pembelajaran. Akibatnya, seperti buah simalakama. Meminta pungutan orang tua siswa keberatan, tidak meminta pungutan sekolah tidak bisa berkembang.

Sekolah gratis ada dimana-mana. Begitu jargon iklan yang sudah akrab di telinga masyarakat karena sering ditayangkan di berbagai stasiun televisi. Pertama kali mendengarnya saya sempat bingung. Gratis seperti apakah yang diberikan oleh pemerintah seperti yang dimaksud pada iklan tersebut? Gratis SPP kah atau gratis tanpa pungutan sepeser pun dalam artian orang tua tinggal memasukkan anaknya ke sekolah yang sesuai dengan minta dan prestasi akademik yang dimiliki si anak? Padahal, di lapangan, orang tua tetaplah harus mengeluarkan uang cukup banyak agar anaknya bisa sekolah. Iklan itu pun memiliki cacat karena apa bisa anak yang hanya mengecap pendidikan dasar 9 tahun bisa menjadi pilot? Jika pun diwajibkan mengecap pendidikan dasar 12 tahun hal itu pun masih susah untuk diwujudkan karena untuk menjadi pilot dia harus belajar dulu di akademi penerbangan.

Hal-hal yang menjadi pertanyaan tersebut akhirnya terjawab ketika saya menonton sebuah dialog di Metro TV pada 16 Juli 2009. Nara sumber dialog malam itu adalah Arif Rahman Hakim, praktisi pendidikan yang sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia dan Angelina Sondakh, artis yang juga anggota DPR. Mereka berdua sepakat menyayangkan penayangan iklan layanan masyarakat mengenai pendidikan gratis yang katanya ada dimana-mana itu. Soalnya, iklan itu memiliki banyak kekurangan. Seharusnya kata gratis pada iklan tersebut ditambahi kata SPP sehingga menjadi sekolah gratis SPP ada dimana-mana. Begitu kata Pak Arif Rahman Hakim. Angelina Sondakh juga menyatakan bahwa pemerintah tidak akan sanggup memberikan pendidikan yang benar-benar gratis kepada masyarakat dengan alasan yang kurang lebih seperti yang telah saya paparkan.

Saya pernah mengalami sistem sekolah bersubsidi ketika sekolah dulu. Besarnya SPP (atau BP3) antara saya dengan teman bisa saja berbeda. Siswa yang orang tuanya kaya dianjurkan membayar uang SPP lebih besar daripada yang seharusnya dibayarkan agar dapat menutupi uang SPP yang tidak bisa dibayar penuh oleh siswa lainnya. Sekolah pun biasanya meminta sumbangan kelas secara rutin. Seminggu sekali anggota OSIS akan berkeliling ke kelas-kelas untuk meminta sumbangan saudara asuh. Uang yang dikumpulkan digunakan untuk membantu siswa yang lainnya. Pada akhir tahun ajaran, terutama kepada siswa yang lulus diharapkan memberikan seragam layak pakainya dan buku-buku pelajaran ke sekolah agar dapat dipergunakan oleh adik-adik kelasnya. Jika hasil sumbangan masih tersisa, maka sekolah akan menyalurkannya kepada sekolah lain yang memerlukan. Jadi, tidak hanya orang tua yang turut serta membantu. Para siswa pun dilatih untuk membantu siswa lainnya.

Sekolah gratis dapat saja diwujudkan. Saya pernah melihat tayangan telivisi dimana siswa benar-benar diberikan pendidikan gratis. Sekolah tidak meminta pungutan sepeser pun bahkan siswanya diberi seragam sekolah, perlengkapan pembelajaran, dan sekolahnya pun memiliki sarana dan prasarana pembelajaran yang terbilang lengkap. Sekolah tersebut kalau tidak salah dikelola oleh badan amil dan zakat. Tapi, siswa yang berkesempatan mendapatkan segala kemewahan itu hanya siswa yang orang tuanya benar-benar tidak mampu. Andaikan sekolah serupa muncul lebih banyak tentunya penuntasan WAJAR DIKDAS 9 Tahun tidak lagi menjadi masalah. Namun, jangan karena ingin menikmati pendidikan gratis para orang tua yang mampu membeli pakaian bagus dan banyak perhiasan walau sepuhan berkata tidak mampu untuk membiayai sekolah anaknya. Kata adalah doa. Takutnya, Tuhan mengabulkan perkataan anda.

* Artikel ini sempat aku kirim ke rubrik opini di salah satu harian di Kalsel seminggu lalu. Berhubung gak dimuat, daripada mubazir, yach mending aku posting di mediaku sendiri. Makanya, bahasa lebih formal dibandingkan postingan yang lainnya ^.^v

1 comment:

  1. Salam Knal .
    Teruskan perjuangan menulis dan kirimkan ke harian mana saja jangan pernah kapok . dan jangan menyalin dari karya orang lain .
    kunjungi blog ku yang jatuh bangun mengkritik , dan pernah terdahulu di Off waktu di cirebon . tetapi selanjutnya bisa di muat di bpost.
    terimaksih

    ReplyDelete