Monday, August 11, 2008

Rawa Lebak

Lahan rawa semakin penting peranannya dalam upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai swasembada bahan pangan lainnya, mengingat semakin berkurangnya lahan subur untuk arela pertanian di Pulau Jawa akibat alih fungsi lahan ke perumahan dan keperluan non pertanian lainnya. Potensi lahan rawa lebak di Indonesia mencapai 14 juta hektar, terdiri dari rawa lebak dangkal seluas 4.166.000 ha, lebak tengahan seluas 6.076.000 ha, dan lebak dalam seluas 3.039.000 ha (Adhi, et al., dalam Rafieq, 2004). Sebagian lahan rawa lebak ini belum dimanfaatkan untuk usaha pertanian sehingga potensi pengembangannya masih sangat besar.

Tulisan di bawah ini aku ambil dari bukunya Pak Muhammad Noor yang berjudul “Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya”. Semoga readers yang ingin tahu mengenai rawa lebak bisa terbantu dengan sajian berikut ini seperti halnya aku yang sangat terbantu karena adanya buku ini.

Ekologi Lahan Rawa Lebak

Kata lebak diambil dari kosakata Bahasa Jawa yang berarti lembah atau tanah rendah (Poerwadarminto, 1976). Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar disebut rawa pedalaman.

Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering (upland).

Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <>

Bahan induk tanah rawa lebak umumnya berupa endapan aluvial sungai, endapan marin, atau gambut yang terbentuk pada periode era Holosen, yaitu sejak 10.000 sampai 5.000 tahun silam yang jauh lebih tua jika dibandingkan dengan endapan di delta sepanjang sungai yang diperkirakan terbentuk antara 2.500-3.000 tahun silam (Prasetyo et. al., 1990; Furukawa, 1994; Neuzil, 1997). Sifat fisika tanah dari lahan rawa lebak umumnya tergolong masih mentah, sebagian melumpur, kandungan lempung (clay) tinggi, atau gambut tebal dengan berbagai taraf kematangan dari mentah (fibrik) sampai matang (saprik). Lapisan bawah dapat berupa lapisan pirit (FeS2) yang berpotensi masam; atau pasir kuarsa yang miskin hara; sifat kimia, kesuburan, dan biologi tanah tergolong sedang sampai sangat jelek. Hidrologi atau sistem tata air kebanyakan lahan rawa lebak sangat buruk. Ketersediaan sarana dan prasarana tata air yang mendukung belum memadai sehingga kinerja pengatusan (drainage), pelindian (leaching), dan penggelontoran (flushing) belum mampu mempercepat perkembangan tanah.

Klasifikasi dan Tipologi Rawa Lebak

Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi menjadi dua tipologi, yaitu (1) rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak dataran rendah. Rawa lebak dataran tinggi/pegunungan banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, sedangkan rawa lebak dataran rendah (lowland) sebagian besar tersebar di Kalimantan.

Berdasarkan ketinggian dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dapat dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) Lebak dangkal, (2) Lebak tengahan, dan (3) Lebak dalam. Batasan dan klasifikasi lahan rawa lebak menurut tinggi dan lamanya genangan adalah sebagai berikut (Anwarhan, 1989; Widjaja Adhi, 1989):

Lebak dangkal : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm dengan lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi nisbi lebih tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan tanggul.
Lebak tengahan : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100 cm dengan lama genangan minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi lebih rendah daripada lebak dangkal dan merupakan wilayah antara lebak dangkal dengan lebak dalam.
Lebak dalam : wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm dengan lama genangan minimal > 6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi paling rendah.

Sementara petani umumnya di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan membagi rawa lebak dengan sebutan watun (lahan rawa lebak = Bahasa Banjar), yaitu watun I, II, III, dan IV. Batasan dan klasifikasi watun didasarkan menurut hidrotopografi dan waktu tanam padi adalah sebagai berikut (Anwarhan, 1989; Ar-Riza, 2001):
Watun I : wilayah sepanjang 200-300 depa menjorok masuk dari tanggul (1 depa = 1,7 meter). Hidrotopografinya nisbi paling tinggi.
Watun II : wilayah sepanjang 200-300 depa (= 510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun I. Hidrotopografinya lebih rendah daripada watun I.
Watun III : wilayah sepanjang 200-300 depa (= 510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun II. Hidrotopografinya lebih rendah daripada watun II.
Watun IV : wilayah yang lebih dalam menjorok masuk dari batas akhir watun III. Hidrotopografinya nisbi paling rendah.

Watun I, II, III, dan IV masing-masing identik dengan istilah lebak dangkal, lebak tengahan, lebak dalam, dan lebak sangat dalam atau lebung.
Berdasarkan ada atau tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) lebak sungai, (2) lebak terkurung, dan (3) lebak setengah terkurung. Batasan dan klasifikasi lebak menurut ada atau tidaknya pengaruh sungai adalah sebagai berikut (Kosman dan Jumberi, 1996):
Lebak sungai : lebak yang sangat nyata mendapat pengaruh dari sungai sehingga tinggi rendahnya genangan sangat ditentukan oleh muka air sungai.
Lebak terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh bear kecilnya curah hujan dan rembesan air (seepage) dari sekitarnya.
Lebak setengah : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan
terkurung oleh besar kecilnya hujan, rembesan, dan juga sungai di sekitarnya.

Pertanian Rawa Lebak

Potensi pertanian di lahan rawa lebak cukup luas dan beragam. Watak dan ekologi masing-masing lokasi dan tipologi lahan rawa lebak merupakan faktor penentu dalam penyusunan pola tanam dan jenis komoditas yang dibudidayakan. Pola tanam dan jenis komoditas yang dikembangkan di lahan rawa lebak dapat didasarkan pada tipologi lahan.

Lahan rawa lebak sebagian besar dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya padi yang dapat dipilah dalam pola (1) padi sawah timur (sawah rintak) dan (2) padi sawah barat (sawah surung). Sawah timur pada musim hujan tergenang sehingga hanya ditanami pada musim kemarau. Sawah timur ini umumnya ditanami padi rintak, yaitu padi sawah irigasi yang berumur pendek (high yielding variety) seperti varietas IR 42, IR 64, IR 66, cisokan, ciherang, cisanggarung, mekongga, kapuas, lematang, margasari (tiga varietas terakhir merupakan padi spesifik rawa pasang surut) dengan hasil rata-rata 4-5 ton per hektar.

Sawah lebak yang termasuk lebak tengahan sampai dalam (lebung) pada musim hujan tergenang cukup tinggi (> 100 cm) sehingga disebut juga sawah barat. Apabila dimanfaatkan untuk tanam padi surung maka persiapan dimulai selagi masih kering(macak-macak), yaitu sekitar bulan September-Oktober dan panen pada bulan Januari-Februari pada saat air tergenang cukup tinggi (1,0-1,5 m). Jenis padi rintak pada dasarnya adalah padi sawah umumnya yang dipersiapkan pada bulan April, tergantung keadaan genangan. Sawah barat ini umumnya ditanami sawah padi surung (deep water rice) yang waktu tanamnya sampai akhir musim kemarau dan panen saat air tinggi (100-150 cm) pada musim hujan. Padi surung atau padi air dalam ini mempunyai sifat khusus, yaitu dapat memanjang (elogante) mengikuti kenaikan genangan air dan dapat bangkit kembali apabila rebah. Kemampuan memanjang ini karena pertumbuhan akar yang terus-menerus yang pada padi sawah umumnya tidak ditemukan. Padi yang tergolong jenis padi surung ini antara lain varietas alabio, tapus, nagara, termasuk yang dikenal dengan padi hiyang.

Lahan rawa lebak dangkal dapat ditanami dua kali setahun dengan pola tanam padi surung (umur 180 hari) tanam pertama dan padi rintak (padi unggul: berumur 11-115 hari) untuk tanam kedua. Tanam pertama dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember dan panen pada bulan April, sedangkan tanam kedua antara bulan Mei-Juni dan panen pada kemarau Agustus-Oktober (Noor, 1996; Ar-Riza, 2005).

Pada musim kemarau panjang semua sawah lebak, terutama rawa lebak dangkal dan rawa lebak tengahan menjadi hamparan tanaman sayuran dan buah-buahan. Untuk lebak dalam (watun III-IV) ditanami hanya pada saat musim kemarau panjang (apabila 4-5 bulan kering), selebihnya dibiarkan karena genangan air cukup tinggi. Akan tetapi, budidaya padi di lahan rawa lebak Sumatra justru berkembang pada musim hujan, karena sebagian lahan rawa lebak sudah mempunyai sistem pengatusan yang baik. Berbeda dengan di Kalimantan, khususnya di Kaimantan Selatan, sebagian lahan rawa lebak pada musim hujan menggenang berbulan-bulan. Namun demikian, sebagian rawa lebak dangkal sampai tengahan seperti di lahan rawa lebak Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara sudah sejak tahun 1980-an dapat melaksanakan pola tanam padi dua kali setahun dengan pola tanam padi varietas lokal-varietas unggul di lahan tabukan dan ubi alabio di lahan surjan. Tanam pertama padi varietas lokal (umur 180 hari) dilakukan pada bulan Oktober-November dan panen dilaksanakan bulan April. Kemudian tanam kedua padi varietas unggul (umur 110) bulan Mei-Juni dan panen bulan Agustus-Oktober.
Selain padi, lahan rawa lebak juga juga umum ditanami palawija, sayur, dan buah-buahan. Pola tanam atau tumpang antara tanaman palawija, sayuran, atau buah-buahan umum dilakukan petani pada lahan lebak dangkal dan tengahan dengan sistem surjan. Pada sistem surjan tanaman palawija (jagung, kedelai, kacang nagara, dan atau umbi-umbian), sayuran (tomat, cabai, kacang panjang), atau buah-buahan (semangka, labu kuning, ubi jalar, ubi alabio, mangga rawa) ditanam di atas surjan (tembokan), sedangkan padi bagian tabukan (ledokan) ditanami padi.

Beberapa wilayah lahan rawa lebak belakangan ini mulai dikembangkan untuk tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet. Pengembangan perkebunan ini memerlukan pembuatan saluran-saluran pengatusan (drainage), pintu-pintu air, dan tabat (dam overflow) untuk pengendalian muka air tanah.

Daftar Pustaka
Noor, Muhammad. 2007. Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rafieq, Achmad. 2004. Sosial Budaya dan Teknologi Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengembangan Pertanian Lahan Lebak di Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan.

2 comments:

  1. Salam kenal,
    Kalau boleh tahu, di mana saja di Jawa yang merupakan daerah pertanian dengan jenis sawah lebak.
    Terima kasih.

    Syahril
    (syahrilmn@yahoo.co.id)

    ReplyDelete
  2. wah, sori...
    kalau d Jawa aku kurang tau coz lokasi penelitianku di Hulu Sungai Tengah (Kalimantan Selatan). Buku-buku yang kujadikan referensi juga lokasinya mayoritas di Kalimantan sama Sumatera

    ReplyDelete