
Penduduk yang ramah dan
bersemangat membenahi dusunnya agar bisa menjadi tujuan wisata membuat kami
merasa nyaman dan tak jera untuk kembali ke dusun ini.
Belum puas! Itu yang kami rasakan sekembalinya dari Haratai 3, Dusun
Kadayang, Desa Haratai, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Belum
banyak yang bisa dijelajahi saat berada disana karena keterbatasan waktu dan
kondisi cuaca. Padahal, ada beberapa tempat yang ingin kami datangi sembari
membantu mempromosikan dusun ini agar menjadi salah satu tujuan wisata yang
bisa dipilih ketika berlibur ke Loksado.
Perjalananku kesana dalam rangka ikut liburannya kakak-kakak dari Kelas Inspirasi Banjarmasin. Mengapa ke Haratai 3? Karena meski pernah mendengar
namanya, kami belum pernah kesana. Apalagi Dikun, Pengajar Muda Indonesia
Mengajar (PM IM) yang bertugas disana sangat bersemangat menyambut kami.
Sabtu, 24 Desember 2016
Sekitar pukul 7.30 WITA, aku dan Didiel berangkat dari pal 7 (Banjarmasin)
menuju Kota Kandangan menggunakan taksi colt. Sepinya penumpang membuat
perjalanan kami terasa lama karena supirnya sempat ngetem untuk mendapatkan
penumpang dan menjalankan taksinya dengan perlahan. Pak Utar, supir taksi pedesaan yang direkomendasikan Dikun sudah berada di Loksado. Taksi pedesaan lain pun tak terlihat. Alhasil, kami tidak mendapatkan angkutan menuju Loksado yang jumlah dan jam operasionalnya
terbatas (hanya hingga sekitar jam 11 pagi).
Ini kali kedua aku mengalami hal ini. Beberapa tahun yang
lalu, karena tidak tahu, aku dan ketiga siswaku terpaksa menyinggah pick
up yang melintas agar kami bisa sampai di Loksado. Saat itu hari Jum’at. Niat
hati ingin naik setelah melaksanakan sholat Jum’at, tak tahunya tidak ada lagi
angkutan menuju Loksado. Setelah menunggu cukup lama, alhamdulillah, ada taksi pedesaan menuju Batulicin yang bersedia membawa kami dan berjanji mencarikan
angkutan menuju ke Loksado di perjalanan.
“Mampir ke pendopo dulu saja,” kata Darwin, PM IM asal Jakarta yang saat itu
berada di Kandangan. Darwin kemudian menjemput di tempat kami turun dari taksi colt. Karena jalur kendaraan umum sudah tidak diizinkan lagi untuk memasuki kota, kami tidak dapat lagi minta turunkan supir taksi di depan pendopo kabupaten.
![]() |
Gunung Kentawan dari Bukit Langara
foto setahun yang lalu |
Lama perjalanan dari Kandangan ke Loksado sekitar satu jam. Kondisi aspal yang
cukup bagus dan kelokan rawan kecelakaan sudah diperbesar agar tidak
ada lagi kendaraan yang terjun ke jurang, memudahkan perjalanan kami. Jalur
Kandangan – Loksado memang sedikit berbeda dengan wilayah Kalimantan Selatan
pada umumnya yang bertopografi datar. Jalurnya yang turun naik dan berkelok membuat
pengendara harus berhati-hati saat melewatinya.
Pemandangan yang terlihat juga mempesona. Selain pemukiman penduduk, dapat juga dinikmati pemandangan Cagar Alam Gunung Kentawan yang dilewati aliran Sungai Amandit. Loksado memang bagian dari Pegunungan Meratus yang membentang sepanjang + 600 km2 dari arah tenggara Kalimantan dan membelok ke utara hingga perbatasan Kalimantan Timur.
Sesampainya di Loksado, kami singgah di mess guru yang menjadi posko PM IM. Kami disambut Dikun, Dika, Jajang, dan Asri. Semuanya adalah PM IM yang ditugaskan di Loksado. Para pemuda dari berbagai wilayah di Indonesia yang mengabdikan dirinya selama satu tahun untuk mengajar di wilayah-wilayah terpencil demi menginspirasi dan turut mencerdaskan anak bangsa. Ada juga Row, alumni Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM3T) penempatan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Barat, asal Kandangan yang juga turut serta menjadi bagian dari Kelas Inspirasi Banjarmasin. Senang dan bangga bisa mengenal mereka dengan baik. Para pemuda penuh semangat dan dedikasi.
Pemandangan yang terlihat juga mempesona. Selain pemukiman penduduk, dapat juga dinikmati pemandangan Cagar Alam Gunung Kentawan yang dilewati aliran Sungai Amandit. Loksado memang bagian dari Pegunungan Meratus yang membentang sepanjang + 600 km2 dari arah tenggara Kalimantan dan membelok ke utara hingga perbatasan Kalimantan Timur.
Sesampainya di Loksado, kami singgah di mess guru yang menjadi posko PM IM. Kami disambut Dikun, Dika, Jajang, dan Asri. Semuanya adalah PM IM yang ditugaskan di Loksado. Para pemuda dari berbagai wilayah di Indonesia yang mengabdikan dirinya selama satu tahun untuk mengajar di wilayah-wilayah terpencil demi menginspirasi dan turut mencerdaskan anak bangsa. Ada juga Row, alumni Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM3T) penempatan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Barat, asal Kandangan yang juga turut serta menjadi bagian dari Kelas Inspirasi Banjarmasin. Senang dan bangga bisa mengenal mereka dengan baik. Para pemuda penuh semangat dan dedikasi.
![]() |
riam hanai. sayang saat itu debit sungainya besar sehingga kami takut menyeberang agar bisa lebih dekat dengan air terjun yang cukup sering memakan korban jiwa ini |
Mumpung masih sore, aku, Didiel, dan Darwin berjalan-jalan menikmati suasana Loksado yang nyaman. Melihat aktivitas penduduk yang sedang membuat gelang simpai, mengikis kulit batang kayu manis, juga berkunjung ke riam hanai dan riam barajang yang berada di Loklahung.
Aku terbawa suasana, bernostalgia mengenang keseruan kunjungan-kunjunganku sebelumnya ke Loksado. Dua kali sewaktu SMP dengan rombongan PMR SMPN 6 Dahlia Banjarmasin, membolang bersama ketiga siswaku ditemani kak Ughaw dan Roni, dan terakhir saat ikut Festival Bamboo Rafting dengan kawan-kawan South Borneo Travellers dua tahun yang lalu.
![]() |
riam barajang. foto sewaktu SMP. pembina PMR kami (alm) Bpk. Etryani suka mengajak kami liburan bersama ke Loksado. |
![]() |
kenangan membolang bersama Ade, Lengga, dan Cahyo. kangen kumpul berempat karena selain Cahyo, kami sedang sama-sama kuliah di Malang |
Saat kami datang, Gino sedang asyik menyiapkan bingkisan kegiatan
sunatan massal untuk siswa SD se-Kecamatan Loksado. Gino bercerita, kegiatan ini merupakan bakti sosial yang didanai oleh berbagai pihak sebagai
salah satu cara pemerataan akses kesehatan bagi anak-anak yang tinggal di berbagai
pelosok desa di Kecamatan Loksado. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara
Nusantara Sehat, PM IM, dan masyarakat Loksado. Meski saat itu donasi yang
masuk belum mencapai target, mereka tetap semangat melaksanakan kegiatan. Sayang,
aku tidak bisa menyaksikan kegiatan yang dilaksanakan pada hari Rabu (28/12)
karena sudah kembali ke Banjarmasin.
Minggu, 25 Desember 2016
Ifit dan Mel sampai di Loksado dengan menumpang taksi pedesaannya pak Utar.
Mereka diturunkan di depan Puskesmas Loksado. Sambil
menunggu Dikun kembali dari Kandangan, kami rujakan di teras mess bersama
teman-teman Nusantara sehat lainnya.
![]() |
Kak... belikan rujak! request Darwin pada Ifit dan Mel sebelum mereka naik ke Loksado |
Dikun kembali bersama Budi, teman (entah kenal dimana :p), yang juga ingin
ikut ke Haratai 3. Gino yang bilang tidak ada rencana kemana-mana libur long weekend ini pun sukses kami ajak
ikut serta. Padahal, dia sudah pernah ke sana dan masih akan sering ke sana
selama masa tugasnya. :D
Lepas tengah hari, kami berangkat naik motor menuju Haratai 3. Karena
jumlah motor yang ada cukup, kami batal minta tolong penduduk untuk
mengantarkan. Dikun-aku, Didiel-Ifit, Bayu-Mel, Gino-Darwin. Perjalanan yang
kata Dikun akan cukup berat untuk dilalui ini pun kami mulai. Lets go!!!
![]() |
isi bahan bakar dan cek kekencangan ban motor sebelum berangkat |
Ini bukan kali pertama bagi aku, Ifit, dan Didiel pergi ke tempat dengan
jalur yang wow seperti ini. Salah
satunya adalah ketika kegiatan Seragam Semangat saat membagikan donasi seragam dan
perlengkapan sekolah ke Desa Datar Batung, sekitar satu tahun yang lalu.
Meski cukup lebar, tidak semua jalur menuju Haratai 3 bisa dilalui dengan
nyaman. Jarak yang katanya hanya sekitar 7 km tidak dapat dilalui dengan mudah.
Jangankan dijalan yang masih berupa tanah berbatu dan tanah liat, jalan
semennya pun tidak bisa dianggap enteng. Ini karena jalurnya turun naik ditambah kelokan yang cukup tajam. Kami juga harus melewati beberapa jembatan gantung.
Beruntung, saat itu cuaca cerah. Meski hujan turun semalaman, jalan yang kami lalui tidak terlalu becek. Dikun yang sudah sering bolak-balik pun beberapa kali
memintaku turun agar kami tidak terjatuh (kalau penduduk sini, boncengan tiga tanpa
turun dari motor pun tidak masalah, ckckck).
Aku mengobrol dengan Dikun selama perjalanan. Salah satu isi obrolan kami adalah pertanyaanku ini:
“Sebelum ini, Dikun pernah kah motoran dengan jalur yang kayak ini?”
Dikun berasal dari Palembang. Jadi tidak salah kan ya kalau aku bertanya
seperti ini? Meskipun belum setahun di Kalimantan Selatan, Bahasa Banjarnya
sudah cukup bagus. Begitu juga Darwin dan Gino.
“Enggak, kak. Disana jalannya datar-datar aja. Paling berlumpur. Jadi, terlatihnya ya disini. Awalnya takut. Tapi, karena sering bolak-balik, sekarang sudah terbiasa,” begitu jawabnya.
Dia juga cerita, kata penduduk, sebenarnya kalau ingin muncak
(ke Halau-halau), jauh lebih dekat lewat Haratai 3 dibandingkan lewat Kiyu (Desa Hinas
Kiri, Kabupaten Hulu Sungai Tengah). Mungkin karena jalan menuju Haratai 3
masih susah dan bukan jalur yang umum dilewati, jarang ada yang ke Halau-halau
lewat sini. (Belakangan baru aku tahu kalau Dikun sudah menginjakkan
kakinya di puncak Halau-halau. Keduluan dia, hikss!).
Mel dan Budi sempat terjatuh di salah satu kelokan (yang meski sudah
ada namanya, kami menamakannya kembali menjadi “tanjakan iphone” karena iphone
Darwin sukses lecet saat menolong Mel). Alhamdulillah, mereka tidak sampai terluka. Kami sampai di Haratai 3 dengan
selamat setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam.
![]() |
kalau sudah bertemu dengan jembatan pink ini, tandanya sudah berada di Dusun Kadayang |
![]() |
wajib berfoto disini yaaa.... :D |
Tidak lama setelah kami sampai, terlihat rombongan penduduk Kadayang yang baru kembali dari bukit. Hari itu mereka memang melakukan kerja bakti. Bersih-bersih jalur menuju puncak Uyayah yang ingin mereka
kembangkan menjadi obyek wisata. Salah satu dari mereka menunjukkan padaku
video kegiatan kerja bakti dan pemandangan dari puncak Uyayah. Mereka juga baru selesai membangun sebuah pondok untuk bersantai menikmati keindahan Pegunungan Meratus di jalur menuju puncak Uyayah. Wah,
berarti kami pengunjung pertama nih!
Kami sempat disarankan untuk ke puncak Uyayah besok saja. Namun, kami takut besok pagi turun hujan. Belum lagi besok, kami juga harus kembali ke Banjarmasin. oleh karena itu, kami tetap saja pergi menuju puncak. Ingin menyaksikan sunset di puncak, begitu alasan kami.
Akhirnya, kami berangkat menuju puncak Uyayah ditemani Nadia, Iwus, Yudi, dan Sandi. Mereka berempat adalah siswa SDN Haratai 3, sekolah tempat Dikun mengajar. Tidak lupa kami membawa headlamp agar tidak kesulitan berjalan di hutan ketika pulang nanti.
Akhirnya, kami berangkat menuju puncak Uyayah ditemani Nadia, Iwus, Yudi, dan Sandi. Mereka berempat adalah siswa SDN Haratai 3, sekolah tempat Dikun mengajar. Tidak lupa kami membawa headlamp agar tidak kesulitan berjalan di hutan ketika pulang nanti.
Trekking bersama anak-anak penduduk lokal?! Aku sih sudah bisa
menebak bakal tertinggal jauh dengan mereka. Yupz, ini ketiga kalinya aku trekking seperti ini. Sebelumnya, ketika trekking ke puncak Bukit Ambilik di Desa Batu Panggung dan ke Gua Batu Sawar. Saat aku
berjalan dengan ngos-ngosan di tanjakan atau berjalan perlahan agar tidak
terpeleset di jalan menurun, bisa-bisanya anak-anak ini melewatinya dengan berlari dan tertawa riang gembira. Mereka
yang sejak baru lancar berjalan sudah ikut orang tuanya berhuma di ladang ini memang tidak diragukan lagi kecepatan dan
kekuatan kakinya. Kadang, aku merasa tawa mereka mengejek kelambananku.
Setelah melewati hutan, kebun karet, dan huma (sawah di perbukitan),
bukit-bukit karst Pegunungan Meratus semakin dekat di depan mata. Kami sampai
di depan mulut gua yang katanya menjadi salah satu tempat persembunyian Brigjen
Hassan Basry saat perang gerilya. Brigjen Hassan Basry memang pahlawan
kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Kandangan. Beliau pula yang
memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia
yang kemudian dikenal sebagai Proklamasi 17 Mei 1949 (Proklamasi Kalimantan).
![]() |
salah satu mulut gua Hassan Basry |
Akses masuk dan keluar gua bisa dilewati dengan mudah dengan menyisir sisi
bukit. Tanpa perlu masuk ke dalam gua, ornamen-ornamen
gua yang berupa stalagtit dan pilar batu tetap bisa dilihat. Meski bau guano (kotoran kelelawar)
tidak menyengat, terdapat guano di lantai gua yang lembab dan basah.
Ketika aku mengobrol dengan penduduk Haratai 3, mereka sendiri ternyata
tidak banyak yang pernah memasuki gua ini. Oleh karena itu, menurutku sayang
jika gua ini nantinya dimasuki banyak orang. Gua Hassan Basry cukup dinikmati
dari luar dengan diberi papan informasi mengenai kisah sejarah yang pernah terjadi
di gua ini. diperlukan juga papan informasi untuk mengedukasi warga dan pengunjung akan pentingnya
menjaga kelestarian kawasan karst dan gua agar tidak rusak. Apabila ingin
memasukinya untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk pemetaan dan
identifikasi gua, dapat menghubungi kepala dusun untuk meminta izin.
Gua Hassan Basry memang bukan gua Altamira, Spanyol, yang harus ditutup
agar lukisan-lukisan prasejarah di dinding guanya tetap terjaga dari nafas dan sentuhan
manusia. Tapi, tindakan preventif perlu dilakukan sebelum terlambat. Selain gua Hassan Basry, bisa saja
masih banyak gua-gua yang lebih besar di sekitar Haratai 3 yang cocok dijadikan
gua wisata atau gua minat khusus.
Kalimantan Selatan
memiliki kawasan karst yang cukup luas, termasuk di dalamnya gua-gua yang masih
perlu diidentifikasi. Perlindungan kawasan karst dan gua-gua yang ada di Kalimantan
Selatan pun perlu dilakukan. Ini karena gua memiliki peran penting bagi kehidupan
manusia, baik sebagai gudang air tanah potensial, fasilitas penyangga mikro
ekosisten yang sangat peka dan vital bagi kehidupan makro ekosistem di luar
gua, laboratorium ilmiah, obyek sosial budaya, maupun sebagai indikator
perubahan lingkungan karena gua sangat sensitif dengan perubahan kondisi
lingkungan di sekitarnya.
![]() |
mehanyari pondok :D |
Sesampainya di rumah, kami mandi, makan malam, dan mengobrol dengan Pak
Mudin sekeluarga juga beberapa warga yang mampir. Mereka menanyakan pendapat kami
tentang pondok buatan mereka dan kesan setelah pergi ke puncak tadi.
![]() |
makan malam. baras gunungnya harum dan nyaman banar, jar Didiel! |
Kami menginap di rumah Pak Mudin, keluarga angkat Dikun. Pak Mudin memiliki seorang anak laki-laki bernama Pani. Meski di desa ini hanya terdapat sebuah SD, Pani bersekolah hingga jenjang sarjana. Anak-anak dusun Kadayang memang harus berjuang jika ingin bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. SMP terdekat berada di Loksado, ibukota Kecamatan. SMK terdekat memiliki jarak yang lebih jauh lagi. Jika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, minimal ke Kandangan, ibukota kabupaten. Pani bagi kami adalah pemuda yang hebat. Pani merupakan Sarjana Pendamping Desa yang bertugas di Desa Haratai, desanya sendiri. Semoga nantinya lebih banyak lagi pemuda Haratai 3 yang dapat bersekolah tinggi dan membangun desanya.
“Bawaan kalian banyak sekali. Kayak orang mau pindahan. Kalau kesini lagi
cukup bawa pakaian ganti. Ada banyak bantal dan selimut disini,” kata istri Pak Mudin melihat carier/backpack kami yang selain berisi pakaian juga kantung tidur,
jaket tebal, bahkan bantal tiup.
Mandi malam dan bolak-balik ke pejijipan ternyata tidak membuat kami menggigil. Bahkan,
meski semalaman hujan, suhu udara di desa ini tidak sedingin yang kami
bayangkan (membandingkannya dengan pedesaan di sekitar Bromo, Ijen, atau Dieng
sih… hehehee).

![]() |
sedang libur sekolah, jadi bisanya ya berfoto di halaman sekolah bersama salah satu gurunya :D foto by Iwus, bocah yang antusias menyambut kami selama berada di Haratai 3 |

Keesokan paginya, kami berjalan-jalan di sekitar dusun. Mampir ke SDN Haratai
3 yang jumlah siswa seluruhnya hanya 36 orang, melihat huma salah satu warga
dan berfoto disana, juga menyapa penduduk yang kami lewati. Disini juga ada air
terjun. Tapi, berbeda dengan air terjun haratai, riam barajang, riam hanai, atau
rampah manjangan. Oleh penduduk, air terjun di desa ini tidak dibuka untuk kegiatan
wisata karena menjadi sumber air bersih bagi mereka.
Nyaman rasanya bisa menikmati suasana pedesaan yang sejuk, tenang, dan jauh dari kemacetan. Kami bertanya pada Dikun apakah dia betah tinggal di Haratai 3. Jawabnya, “Betah, kak. Bahkan, kalau nanti balik ke Jakarta atau pulang ke Palembang, aku harus adaptasi lagi karena sudah terbiasa dengan kehidupan di sini.”
Nyaman rasanya bisa menikmati suasana pedesaan yang sejuk, tenang, dan jauh dari kemacetan. Kami bertanya pada Dikun apakah dia betah tinggal di Haratai 3. Jawabnya, “Betah, kak. Bahkan, kalau nanti balik ke Jakarta atau pulang ke Palembang, aku harus adaptasi lagi karena sudah terbiasa dengan kehidupan di sini.”
![]() |
bersama Pak Guru Dikun, guide Dusun Kadayang :D |
Aku pernah melakukan pengabdian seperti ini. Tapi hanya tiga bulan,
sewaktu mengikuti KKN percepatan penuntasan WAJAR DIKDAS 9 Tahun di Kecamatan
Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi. Itu juga seringnya tinggal di Kalipuro,
ibukota kecamatan yang hanya selama 15 menit perjalanan ke Kota Banyuwangi. Hanya
sesekali tinggal di rumah “induk semang” yang amat telaten mengurusi keperluan hidup
kami sehingga, setiap kali kembali ke posko di kecamatan, badan terlihat lebih montok karena tidak pernah kekurangan makanan. Hahahaa…
![]() |
sebelum pulang, berfoto bersama tuan rumah yang sudah
menyambut kami dengan ramah
kalau berkunjung kesini jangan lupa isi buku tamu, yaaa.... :)
|
Perjalanan kami kali ini bukan mengejar obyek wisata. Obyek hanya bonus. Utamanya,
kami berkunjung ke tempat ini untuk bersilaturahmi dan refreshing. Menghirup udara sejuk Pegunungan Meratus dan melihat kehidupan
penduduk setempat. Syukur-syukur kunjungan kami memberi kesan bagi penduduk
Haratai 3, seperti kami mendapat kesan yang baik atas sambutan mereka selama
kami disana. Terima kasih.
Traveling –
it leaves you speechless, then turns you into a storyteller.
Traveling –
it offers you a hundred roads to adventure and gives your heart wings!
Kata-kata Ibnu Batuta ini memang benar adanya. Ada banyak cerita dan
pengalaman hidup yang bisa didapat dengan kita melakukan perjalanan. Hal-hal
yang kita temui inilah yang memperkaya hidup, mendewasakan, juga membuka
wawasan. Dusun Kadayang, Haratai 3, menambah ceritaku akan hal ini.
Pesan moral yang ingin kusampaikan dalam perjalanan kali ini adalah jangan
pernah meremehkan kendaraan dinas (plat merah) dan pengendaranya. Lucu juga menyadari empat
buah motor yang kami pakai semuanya adalah motor dinas. Dua diantaranya (motor
dinasnya Dikun dan Gino) sudah menjelajahi berbagai wilayah Loksado, termasuk
Haratai 3 yang jalurnya termasuk yang paling wow. Dua diantaranya (motor
dinasnya Dikun dan Darwin) adalah motor yang dibelinya entah kapan karena
modelnya keluaran lama. Hahahaaa…. Tapi motor-motor inilah yang setia menemani
pengendaranya menjalankan “tugas negara” demi mencerdaskan anak bangsa dan
menjaga kesehatan seluruh warga dalam segala cuaca dan suasana.
![]() |
quote by Pak Altaman, mantan Kepsek SDN Haratai 3 yang dipajang di dinding ruang guru |
Kami berencana melakukan kegiatan bakti sosial berupa penggalangan dana
dan buku untuk membangun taman baca Dusun Kadayang. Resminya akan kami informasikan
nanti setelah persiapan untuk kegiatan ini direncanakan dengan baik. Nanti kalian
ikut berdonasi, ya! J