Friday, October 11, 2019

Taman Wisata Alam Pulau Bakut, habitat bekantan si hidung panjang endemik Kalimantan

Pernah melihat bekantan si hidung panjang? Jika belum, datanglah ke Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Bakut. Letaknya persis di bawah Jembatan Barito yang menjadi penghubung antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Pulau Bakut dilihat menggunakan Google Earth
Pintu masuk Taman Wisata Alam Pulau Bakut
bekantan (Nasalis larvatus)
Bekantan (Nasalis larvatus) adalah hewan endemik Kalimantan dan menjadi maskot fauna Kalimantan Selatan. Hewan ini hidupnya berkelompok. Jadi, jika bertemu seekor bekantan hampir dipastikan akan bertemu dengan kawanannya. Bekantan juga hewan yang pemalu. berbeda dengan aku yang meski tidak pemalu tapi kemana-mana seringnya sendirian. Ok, setidaknya kami memiliki kesamaan. Sama-sama mahkluk tuhan yang tercipta langka. :D

TWA Pulau Bakut dengan luas lahan 15,58 ha menjadi salah satu habitat spesies terancam punah ini. Sejak dicanangkan menjadi taman wisata alam, Pulau Bakut diberi fasilitas supaya bisa dikunjungi. Ada dermaga, titian kayu sepanjang 600 meter melintasi hutan mangrove yang menjadi ekosistem pulau, menara pandang yang bisa digunakan untuk mengamati beraneka burung yang tinggal atau singgah, gazebo peristirahatan, mushala, toilet, tong sampah, dan warung. Tempat yang komplit untuk berwisata, belajar, juga melakukan penelitian. Lokasinya yang dekat dengan Kota Banjarmasin dan bisa ditempuh lewat jalur darat atau sungai memudahkan akses untuk mendatanginya.

Pohon rambai banyak terdapat di sini. Pohon rambai sangat penting bagi keberadaan bekantan. Tegakannya menjadi habitat dan pucuk daunnya merupakan makanan utama bekantan. Pohon rambai dapat tumbuh tinggi. Puncaknya bisa terlihat dari jembatan. Jadi, tanpa singgah ke Pulau Bakut, pada waktu-waktu tertentu kita bisa melihat bekantan yang asyik nongkrong di pohon rambai dari Jembatan Barito.

pemandangan TWA Pulau Bakut dari menara pandang
Melihat kawanan bekantan di sore hari dari Jembatan Barito sambil menikmati lalu lalang kapal yang melintasi Sungai Barito ketika matahari tenggelam bersama orang tercinta menjadi pemandangan manis nan romantis. Cobalah sesekali.

How to get there?
Kali pertama berkunjung ke TWA Pulau Bakut (akhir tahun 2018), aku pergi bersama teman-teman sekantor dengan carter kelotok. Kali kedua, aku pergi lewat jalur darat sampai ke Jembatan Barito lalu menyeberang dengan kelotok untuk sampai ke dermaga TWA Pulau Bakut.


Pilihan untuk menyeberang ada 2. Bisa lewat bawah jembatan yang ada helipad (dari arah Banjarmasin), bisa juga lewat bawah jembatan dari arah Kuala Kapuas. Bagi yang ingin sekalian menyisir separuh Pulau Bakut, kusarankan menyeberang dari dermaga bawah jembatan dari arah Banjarmasin. Harganya Rp 20.000 pp/orang. Sekarang di dermaganya ada tulisan "Jembatan Barito". Jadi, bisa foto-foto di sana sebelum atau setelah menyeberang. Peluang melihat bekantan dari dekat juga lebih besar karena mereka tinggal di kawasan pinggiran pulau yang terdapat pohon rambai, bukan di sekitar titian hutan mangrove yang ada di dalam kawasan TWA Pulau Bakut. Bagi yang takut naik kelotok (kelotoknya kecil, muat 8-10 orang dan biasanya tidak disediakan pelampung), kusarankan naik dari dermaga bawah jembatan dari arah Kuala Kapuas karena jalurnya lebih pendek. Harganya pun lebih murah, Rp 10.000 pp/orang).

titian yang dibangun di separuh pulau membantu pengunjung melihat isi Pulau Bakut
Waktu buka TWA Pulau Bakut sampai jam 5 sore, ya...
Kami kemarin kesorean. Beruntung pak petugasnya masih ada dan tidak keberataan kami masuk meski sudah waktunya pulang.

HTM Rp 5.000 orang (lupa merhatiin HTM untuk wisatawan mancanegara dan sepertinya HTM sekarang naik jadi Rp 10.000/orang).

Monday, May 14, 2018

Sungai Yangtze, Rape of Nanking, dan Yun Brocade

When in Nanjing (part 3)

Cerita sebelumnya…   When in Nanjing (part 2)

aktivitas Sungai Yangtze dilihat dari Yuejiang Lou
Aku (A): Wei, aku ingin melihat Sungai Yangtze. Dimana spot bagus untuk melihatnya?
Wei (W): Banyak. Salah satunya di Yuejiang Lou.
(Lou = pagoda/tower)
A: (lihat peta) Tidak ada stasiun metro di dekatnya. Kamu kan tahu aku tidak bisa naik bus.
Jadi, saat Wei libur kerja dan bisa menemaniku jalan-jalan, dia mengajakku kesana.

Minggu, 18 Juni 2017
Masih ingat kisah perjalananku mengelilingi Danau Mochou di cerita sebelumnya?! (Danau-danau Cantik di Nanjing). Nah, cerita itu bermula dari perjalananku yang ingin melihat Sungai Yangtze. Apa istimewanya Sungai Yangtze? Sungai sepanjang 6300 km ini adalah sungai terpanjang di Asia. Hulu sungainya di Dataran Tinggi Tibet dan bermuara di Laut Cina Timur (melewati 10 provinsi di China). Sungai inilah saksi pembangunan armada laut Laksamana Cheng Ho yang ekspedinya dikenal sebagai Pelayaran Cheng Ho ke Samudera Barat. Sebagai anak Kota Seribu Sungai (alias Banjarmasin), melihat sungai besar dan panjang tentu bikin seakan sedang berasa di kampung halaman. Tidak apa kan ya kalau bandingannya jauh lebih wow daripada Sungai Martapura dan Sungai Barito yang tidak seberapa panjang dibandingkan Yangtze asalkan feels like home :D
Aku dan Wei janjian bertemu di stasiun Longjiang. Yap, perjalanan kali ini hanya aku dan Wei karena teman-teman yang lain memilih stay di dormitory untuk mengerjakan PR dan beristirahat (PR-ku jangan ditanya, ya! Hehehee…). Ini adalah perjalanan terjauhku naik metro. Dari Xiamafang (stasiun dekat kampus, line 2) turun di Xinjiekou untuk pindah ke line 1 lalu turun di Gulou untuk pindah ke line 4 dan turun di Longjiang keluar melalui exit 2. Setelah bertemu Wei, perjalanan kami lanjutkan dengan naik bus. Lumayan bisa melihat kenampakan Kota Nanjing karena seringnya kan naik metro, underground. Sudah sampai? Belum.
Turun di halte kami masih harus jalan kaki. Yuejing Lou berada di 202 Jianning Rd, Xia Guan Qu. Meski sudah sampai di gerbang Yuejiang Lou, perjuangan belum berakhir. Seperti di Sun Yat Sen Mausoleum, untuk sampai di Yuejiang Lou harus menaiki puluhan (atau ratusan?!) anak tangga. Taraaa... Jangan senang dulu. Ingin mendapat view maksimal ke lantai teratas pagoda lah dan mari menaiki anak-anak tangga lagi! Tapi sepadan karena bisa melihat Sungai Yangtze, Nanjing Yangtze River Bridge, Nanjing City Wall, dan tentunya pemandangan Kota Nanjing. Beautiful view!

Yuejiang Lou

Yuejing Lou kalau diterjemahkan ke Bahasa Inggris berarti a towering building viewing the Yangtze River. Menara atau pagoda ini dibangun di atas Lion Hill sesuai keinginan Kaisar Zhu Yuanzhang (Dinasti Ming, 1374) yang ingin memiliki bangunan tinggi di atas bukit agar dapat melihat jauh ke sekeliling untuk menikmati pemandangan dan memantau apabila ada aktivitas musuh/pihak asing. Uniknya, menara setinggi 52 meter di area yang luasnya lebih dari 5.000 meter persegi ini baru selesai dan dibuka untuk umum pada tahun 2001. Pembangunan Yuejiang Lou sempat gagal diselesaikan karena rendahnya produktivitas, lemahnya ekonomi, perang bertahun-tahun, dll.
Berkunjung ke Yuejiang Lou kita akan mendapat banyak informasi mengenai berbagai dinasti yang pernah ada di China, peta wilayah kekuasaannya, catatan Yuejiang Lou imajiner zaman Kaisar Zhu Yuanzhang, dan kisah Laksamana Cheng Ho yang tergambar di dinding menara bagian dalam. Setelah menikmati pemandangan Nanjing dari atas menara (dan tentunya melihat Sungai Yangtze), kami berjalan-jalan di area sekitar menara.

Pemandangan dari atas Yuejiang Lou


Ada hal menarik yang ditunjukkan Wei saat kami menaiki dan menuruni tangga menuju puncak bukit (tempat di mana Yuejiang Lou berdiri). Wei menunjukkan kepadaku patung-patung singa berukuran kecil yang banyak terdapat di kanan kiri tangga.
“Can you tell which one male and female?”
Ternyata yang jantan memegang bola, betina memegang anak singa. Tidak satu pun patung-patung itu dibuat sama persis. Menarik!
narsis di Nanjing City Wall
Kami tidak langsung keluar. Wei mengajakku berjalan-jalan di atas Nanjing City Wall yang berada masih satu kawasan dengan Yuejing Lou. Mumpung tidak perlu membeli tiket masuk lagi karena sudah sepaket dengan tiket masuk ke Yuejing Lou (HTM: 40 RMB). Belum bisa berjalan-jalan di Great Wall of China, Nanjing City Wall dulu tidak mengapa (semoga suatu hari nanti bisa traveling ke sana, aamiin).
Sun Yat Sen Mausoleum (√), Fuzimiao (√) meski tidak masuk ke Confucius Temple yang merupakan objek utamanya. 3 tempat yang direkomendasikan Wei untuk kudatangi, 2 sudah terpenuhi.
"Kita naik bus lagi ke tempat berikutnya," kata Wei kepadaku. Bisa menebak kan dia mengajakku kemana?

Fyi: Aku tidak berani naik bus karena tidak bisa Bahasa Mandarin dan tidak mengerti harus naik bus nomor berapa turun di mana. Penduduk sini setiap menggunakan transportasi publik tinggal scan kartu yang sudah diisi deposit uang, pun ketika masuk ke objek wisata berbayar. Wei menscan kartunya 2 kali setiap kami naik bus. Sekali dia, sekali untuk aku. Aku lupa nanya berapa ongkos sekali naik bus. Berharap saat itu ongkos naik bus Wei yang bayarin. Hahahaa…

Nanjing Massacre Memorial Hall

Nanjing Massacre Memorial Hall dibangun pada tahun 1985. Tempat ini memiliki luas 28 ribu meter persegi. Lapangannya luas, tamannya rindang, kolam-kolamnya besar, kondisinya pun bersih. Antrian masuk saat itu seperti ular naga panjangnya, baik untuk memasuki area memorial hall ataupun aula pameran. Selain pengunjung umum, saat itu ada anak-anak sekolah yang sedang studi tur.
Sebelum memasuki area memorial hall, aku sempat terpesona saat melihat patung seorang ibu menggendong bayi. Ternyata (ketika sudah berada di dalam), patung ini berada di tepi salah satu kolam. Pada kolam lainnya terdapat patung-patung yang menggambarkan peristiwa selama invansi Jepang di Kota Nanjing. Terdapat pula pemakaman massal dan foto-foto saat ekskavasi dilakukan. Dinding bertuliskan nama-nama korban pembantaian pun ada. Jadi, meski tempat ini luas, indah, dan bersih, tidak meninggalkan kesan suram akibat peristiwa yang pernah terjadi di sana.
Pada 13 Desember 1937, 50.000 tentara Jepang menginvansi Kota Nanking (sekarang Nanjing) yang saat itu menjadi pusat budaya dan politik Cina. Dimulai dari Shanghai, pasukan Jepang membual dapat menaklukkan seluruh Cina dalam waktu 3 bulan. Ternyata, warga Nanking memberi perlawanan yang membuat jadwal penaklukkan Jepang terhadap Cina meleset dari target. Diperkirakan, tentara Jepang membantai 300 ribu tentara Cina dan penduduk sipil. Lebih dari 20 ribu perempuan diperkosa dan disiksa. Makanya, pembantaian ini dikenal sebagai The Rape of Nanking dan menjadi peristiwa kekejaman terburuk yang terjadi saat Perang Dunia II, baik di zona Pasifik maupun Eropa.





Tidak heran kan kalau aku jadi speechless karena ngeri saat berada di sana?! Tidak heran juga jika akhirnya di sana aku sulit menemukan produk buatan Jepang. Toh mereka juga produsen berbagai macam produk jadi ngapain harus memakai produk buatan negara lain?!

How to get there…
Nanjing Massacre Memorial Hall berada di 418 Shuiximen Rd. Jika menggunakan line (metro), naik line 2 dan turun di stasiun Yunjinlu. Jika menggunakan bus, naik bus nomor 4, 7, 37, 61, atau 63 dan turun di Jiangdongmen Stop. Lanjutkan dengan berjalan kaki hingga sampai di lokasi. Free entrace (masuk ke tempat ini dilarang bawa air minum).

Nanjing Yun Brocade Museum

Museum ini tidak termasuk dalam travel bucket list-ku. Tahu pun aku tidak kalau ada museum seperti ini di Nanjing. Wei mengajakku mampir di perjalanan kami menuju stasiun metro setelah mengunjungi Nanjing Massacre Memorial Hall. Aku sih suka banget diajak ke museum. Selain dapat tambahan objek kunjungan, aku pun jadi bisa ngadem karena Nanjing hari itu panas dan aku puasa (hauuusss...).

Koleksi di museum ini banyak. Mulai dari alat tenun, diorama, pakaian kerajaan, sampai beragam koleksi kain dengan motif-motif yang bikin mupeng pingin beli paling gak satu lembar untuk koleksi atau dibikin baju. Yun brocade yang menarik perhatianku adalah yang motif bunga, perahu naga, burung merak, dan the Cowherd and the Girl Weaver. Pajangan kain sutra berlukis Monalisa juga ada. Cantik-cantik! Sayang, kain tenun Yun brocade ini harganya bikin nangis, apalagi yang berbahan dasar sutra khas Cina (mahalnya pakai bingits, hiksss!).
Sejak zaman kuno, Nanjing telah menjadi area produksi utama sutra terbaik di Cina dan merupakan tempat kelahiran Yun brocade ini. Kira-kira pada Six Dinasties Period (222-589). Pada tahun 1957, Nanjing Yun Brocade Institute didirikan untuk melestarikan kerajinan brokat ini. Tahun 2004, institut tersebut mendirikan Museum Yun-Brocade Nanjing yang menjadi museum pertama di China untuk menampilkan dan mengumpulkan karya Yun brocade di daratan Cina. Tahun berikutnya, Nanjing Yun brocade ini terdaftar sebagai barang warisan budaya tak benda tingkat negara dan tahun 2009 terdaftar sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Keren, ya!

How to get there…
Nanjing Yun Brocade Museum berada di 240 Chating Dongjie. Masuk ke museum ini gratis dan bukanya mulai pukul 8.30 am – 17.00 pm. Sama dengan ke Nanjing Massacre Memorial Hall. Jika naik metro, naik line 2 lalu turun di stasiun Yunjinlu. Jika naik bus, naik bus nomor 4, 7, 37, 61, atau 63 lalu turun di Jiangdongmen Stop. Lanjutkan dengan berjalan kaki sampai ke obyek tujuan.

Jadi, rute perjalananku hari itu: Yuejiang Lou – Nanjing Massacre Memorial Hall – Nanjing Yun Brocade Museum – Mochou Lake Park. Kalau di Banjarmasin, sampai rumah aku pasti akan manggil tukang urut karena kaki pegal akibat jalan kaki entah berapa ribu langkah dalam sehari. Hal langka yang kulakukan di Banjarmasin atau Malang.


Bersambung…

Danau-danau Cantik di Nanjing

When in Najing (part 2)

Cerita sebelumnya…   When in Nanjing (part 1)


Selama di Nanjing ada 2 danau yang kukunjungi. Danau Xuanwu dan Danau Mochou. Danau Mochou ukurannya lebih kecil sehingga bisa mengelilingi dan menikmati danau ini dengan berjalan kaki. Danau Xuanwu jauh lebih luas dan memiliki lebih dari satu akses masuk. Bisa dikelilingi dengan berjalan kaki? Bisa, kalau pingin! :D

Sabtu, 17 Juni 2018
Xuanwu Lake, the best lake in the city

Danau Xuanwu merupakan salah satu danau bersejarah yang ada di Cina. Secara geologi, danau ini terbentuk akibat pergeseran lempeng tektonik yang membentuk Gunung Zhongsan. Danau Xuanwu memiliki lima pulau kecil yaitu Ying, Liang, Cui, Ling, dan Huan yang satu sama lain dihubungkan oleh jembatan. Ada banyak taman juga di danau ini. Saat Nanjing menjadi ibukota Cina, Xuanwu adalah danau/taman kerajaan bagi beberapa dinasti yang pernah ada.

berfoto di depan Xuanwu Gate
 Danau Xuanwu selalu ramai pengunjung, terutama di hari libur. Selain gratis, lokasinya strategis sehingga sering menjadi tempat berkumpul berbagai komunitas, termasuk Perhimpunan Pelajar Indonesia di Tiongkok (PPIT) Nanjing. Terdapat pula candi, pagoda, paviliun, rumah teh, restoran, kebun binatang mini, dan berbagai macam wahana atraksi dan hiburan. Bikin betah. Zifeng tower, bangunan tertinggi di Kota Nanjing pun terlihat dari sini. Tidak heran danau ini menjadi obyek wisata nasional terkenal dengan ranking 4-AAAA (recommended) di Cina.
Kami (aku, Ka Opy, Anna, Anisah, dan Ipeh) mengunjungi tempat ini ditemani Novie, mahasiswa asal Yogyakarta yang saat itu hampir menyelesaikan studi master ilmu sejarahnya di salah satu universitas di Nanjing (lupa kampus mana). Sayangnya kami hanya berkunjung sebentar. Selama di Nanjing, aku hanya sempat sekali mendatangi danau ini. Padahal banyak spot cantik untuk berfoto di danau ini L Perlu waktu setidaknya 5 jam untuk mengelilingi danau seluas 444 hektar ini. Pastinya belum termasuk foto-foto dan santai sejenak menikmati pemandangan yang disajikan. Jika tidak ingin jalan kaki, tersedia armada wisata untuk berkeliling danau (yang tentunya berbayar) :D
Danau Xuanwu memiliki cerita legenda. Diceritakan bahwa Kaisar Sun Quan (pada tahun 182-252) membuat danau ini dan mengisinya dengan air. Menurut legenda lainnya, danau ini dinamai sesuai dengan naga hitam yang diyakini sebagai dewa air oleh Taois China. Naga ini tampak seperti kura-kura dan seekor ular sehingga dinamai Xuanwu yang artinya kura-kura hitam.


Zifeng Tower, bangunan tertinggi di Nanjing
How to get there:
Kami ke sana naik metro (line 1), turun di stasiun Xuanwumen, keluar melalui exit 4. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki dan masuk melalui Xuanwu Gate. Nanjing City Wall memang berdiri di separuh sisi danau. Jadi, kita juga bisa menikmati keindahan danau dari atas city wall yang tiket masuknya bisa dibeli di loket yang ada di dekat gerbang. Karena kami tidak bisa berlama-lama di sana, kami memilih untuk tidak menaiki Nanjing City Wall L

Minggu, 18 Juni 2017
Mochou Lake Park

patung Lady Mochou di dalam paviliun

Mochou adalah wanita cantik yang selalu berbuat baik kepada orang-orang miskin. Dia dan suami tercintanya hidup bahagia hingga akhirnya Mochou bertemu dengan kaisar. Kecantikan Mochou membuat kaisar jatuh cinta dan ingin menjadikannya selir. Untuk mendapatkannya, kaisar meracuni suami Mochou. Namun, Mochou sangat mencintai suaminya. Dia tidak bisa hidup tanpanya. Akhirnya, Mochou melompat ke kolam dan menenggelamkan diri agar dapat bersama dengan suaminya di surga.
Cerita tersebut merupakan salah satu versi cerita tentang Danau Mochou. Awalnya, danau ini bernama Hengtang Pond kemudian diganti menjadi Mochou Lake Park pada tahun 1929. Pada tahun 1953, Mochou Lake Park diperluas dengan tambahan pepohonan dan beraneka bunga. Patung Lady Mochou sendiri berdiri di kolam salah satu paviliun yang ada di danau ini. Selain patung Lady Mochou, dipajang pula beragam perabotan antik Cina yang sebagian besar berbahan rosewood dengan ukiran yang indah.
Danau Mochou terletak di sisi barat Hanzhong Lu, Kota Nanjing, dengan luas area sekitar 47 hektar. Danau ini merupakan tempat yang nyaman untuk bersantai, apalagi ketika teratai-teratainya bermekaran. Kita bisa menikmatinya dengan duduk di gazebo-gazebo dan taman-taman yang terdapat di sekeliling danau. Saat festival Duanwu, danau ini menjadi salah satu tempat pelaksanaan lomba perahu naga. Sayang, aku datang 2 minggu setelahnya sehingga tidak bisa menyaksikan kemeriahan festival Duanwu dan makan zongzi, semacam lemper yang adanya cuma saat festival ini L
Berbeda dengan Danau Xuanwu yang free entrance, memasuki danau ini dipungut biaya sebesar 35 RMB (sekitar 70 ribu rupiah). Jadi, kalau cuma mampir sebentar ke tempat ini rasanya rugi :p Wei mengajakku berkeliling danau dengan berjalan kaki (karena memang tidak ada armada wisata seperti di Danau Xuanwu). Capek? Pastinyaaa… karena saat itu aku sedang berpuasa, musim panas, dan danau ini adalah obyek keempat yang kami datangi hari itu!
Mengingat aku yang sedang berpuasa dan kami telah melakukan perjalanan yang cukup jauh (rute perjalanannya akan kuceritakan belakangan :D), Wei memperlambat langkah kakinya (yang panjang dan cepat). Sesekali dia mengajakku beristirahat dan bersantai untuk menikmati keindahan danau. Hampir 2 jam berada di sana, akhirnya kami sampai di titik awal perjalanan di danau ini. It means, aku sukses mengelilingi danau ini dengan sehat walafiat! Hahahaa… Aku memutuskan untuk mengakhiri perjalanan hari itu dengan kembali ke dormitory sebelum waktu berbuka puasa tiba. Alhamdulillah, puasa selama 16 jam yang harus dijalani kala itu sukses kulewati dari imsak (sekitar pukul 3.28 am) hingga iftar (sekitar pukul 7.20 pm) meski sempat dehidrasi dan dijalani dengan ngos-ngosan :D

How to get there:
Danau Mochou terletak di 35 Hanzhongmen Rd. Jika menggunakan metro, naik line 2, turun di stasiun Mochoulu, dan keluar melalui exit 2. Pada musim panas danau ini dibuka dari pukul 06.00 hingga 22.00 dan musim dingin dari pukul 06.00 hingga 22.00. Oh ya, Cina menggunakan waktu GMT +8 sehingga bagi kami yang berasal dari wilayah WITA (Waktu Indonesia Tengah) tidak perlu merubah jarum jam karena sama saja :D


When in Nanjing (part 1)

Kangen Nanjing! Itu alasan aku menuliskan lagi (sebelumnya di instagram @fa_amelia dengan hastag #fa_story #wheninnanjing) pengalaman saat berada di Nanjing setahun yang lalu. Sekalian mengisi lagi blog yang sudah lama terabaikan ini (^.^)v Bagi kalian yang membacanya, semoga bisa menambah informasi dan motivasi untuk juga bisa berada di sana dan merasakan pengalaman yang lebih seru dibandingkan aku kala itu. Happy reading… J

Welcome in China!
Mengunjungi negara yang yang perkembangan ekonomi dan teknologinya melesat cepat sukses membuatku merasa "kidu". Hal ini kualami ketika berada di Cina, setahun yang lalu saat menjalani sandwich programe selama hampir 2 minggu di Nanjing Agricultural University (NAU). Maklum, stempel di pasporku baru satu negara itu. Sebagai anak Kalimantan yang jalan-jalannya seputaran bukit, air terjun, hutan, dan kota yang minim gedung-gedung tinggi, jalan raya yang lebar dan mulus, dan belum pernah merasakan serunya naik kereta bawah tanah (metro), aku jadi terkagum-kagum menyaksikannya. Kapan ya Banjarmasin bisa seperti ini?!

Jumat, 9 Juni 2017
Kala itu kami (10 orang mahasiswa cantik dan kece dari Prodi Pendidikan Geografi Kelas Kalimantan Selatan Pascasarjana Universitas Negeri Malang) sampai di Pudong Airport, Shanghai, pada dini hari. Alhamdulillah, meski harus antri panjang bersama WNA lain kami tidak mengalami kendala saat melewati imigrasi. Petugas counternya sih tersenyum memandangi kami bersepuluh yang badannya kecil-kecil (untuk ukuran mereka, hahahaa…). Mungkin antara heran dan takjub karena ada 10 perempuan dini hari datang ke negara mereka dari negeri yang jauh untuk menuntut ilmu J Untungnya Wang, mahasiswa yang bertugas menjemput, sudah tiba sehingga kami bisa langsung menuju bus untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Nanjing.
Keluar dari area Pudong Airport, Shanghai, mata langsung disuguhi banyak gedung-gedung tinggi meski hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Bus yang menjemput kami langsung melaju di express way menuju Nanjing tanpa ada Shanghai city tour sehingga aku tidak bisa melihat banyak kenampakan Kota Shanghai L Pemandangan selama perjalanan sebenarnya asik buat dilihat meski pagi itu sedikit berkabut. Rumah susun/apartemen hingga belasan tingkat, expressway-overpass-jalan raya yang semuanya mulus-mulus, dan favoritku adalah jalur hijau di tengah dan tepi jalan yang semuanya rimbun-rimbun menyelingi kenampakan buatan manusia yang terdapat di sepanjang perjalanan. Mungkin karena lama-lama pemandangannya terasa monoton, mataku minta dipejamkan. Cuma sesekali bangun saat bus singgah di rest area hingga akhirnya kami tiba di dormitory kampus.

Welcome in Nanjing!
Nanjing dikenal sebagai ibukota Cina Kuno. Kuno karena Nanjing memang sudah berdiri sejak tahun 400 SM. Kota ini pernah menjadi ibukota 10 dinasti yang ada di Cina sebelum dipindahkan ke Beijing. Nanjing ini luas kotanya sepuluh kali lebih besar dari Jakarta. Syukurnya, transportasi umum di kota ini nyaman dan aman. Bermodalkan peta, beberapa RMB (Yuan), dan kemauan untuk melangkah yang banyak (jalan kaki) kita sudah bisa menjelajahi banyak tempat di Nanjing. Jadi, mumpung di Nanjing, sayang banget jika tidak diisi dengan menikmati kota yang bikin aku akhirnya kangen untuk kembali ke sana.
Jika ke Nanjing, asyiknya jalan-jalan kemana saja?!
Menurut Wei, teman yang menjadi guideku di sana, 3 tempat yang wajib didatangi saat berada di Nanjing adalah Dr. Sun Yat Sen Mausoleum, Fuzimiao (Confucius Temple), dan Nanjing Massacre Memorial. Kenapa? Karena ketiga tempat ini memiliki nilai sejarah yang penting, khususnya bagi Nanjing.

Minggu, 11 Juni 2017
Dr. Sun Yat-Sen Mausoleum

Dr. Sun Yat-Sen Mausoleum ada di top list travel bucket list-ku. Untuk sampai ke tempat ini susah-susah gampang karena tidak ada stasiun metro di sekitarnya. Aku beruntung karena mausoleum ini ada di daftar kunjungan kami saat fieldtrip. Dari kampus, kami pergi menggunakan bus bersama rombongan dari Kenya yang saat itu sedang berkunjungan ke NAU beberapa hari.



Siapkan stamina jika ingin mengunjungi tempat ini karena lokasi mausoleum berada jauh dari parkiran kendaraan. Kita akan melewati hutan yang rimbun, pasar souvenir, dan puncaknya adalah menapaki sekitar tiga ratusan anak tangga! Saat itu, sedang musim panas dan bulan Ramadhan. Untungnya aku membawa topi dan kacamata meski harus menahan haus karena berpuasa. Tapi, pemandangan yang disajikan tidak akan mengecewakan. Hembusan angin sejuk yang bertiup di sekitar Gunung Ungu (Purple Mountain/Zijin Mountain) sehingga mengurangi teriknya sinar matahari saat menikmati kawasan Dr. Sun Yat Sen Mausoleum ini.



pasar souvenir di kawasan Sun Yat Sen Mausoleum
Hal menarik saat berada di sini (di tempat lainnya juga sih) adalah sering diperhatikan banyak orang. Sebabnya adalah jilbab yang kami kenakan (dan hebohnya kami saat foto-foto :p). Sampai-sampai ada pasangan suami istri dan seorang nenek yang bela-belain minta foto bareng dengan kami. Jumlah muslim di kota ini memang tidak banyak. Alhamdulillah selama di Nanjing kemana pun aku pergi, sendirian atau rombongan, meski sering dilirik karena jilbab yang dikenakan namun tidak pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan. Mereka hanya penasaran dan ingin tahu karena tidak biasa melihatnya.

Rabu, 14 Juni 2017
Xinjiekou Business Centre
“Aku akan mengajakmu short trip ke beberapa tempat di Nanjing,” begitu kata Wei ketika kami bertemu. Wei saat itu baru pulang kerja. Mengetahui aku sudah berada di Nanjing, dia mengajakku untuk bertemu. Karena aku belum berani bepergian tanpa ditemani guide, kami janjian bertemu di stasiun metro dekat kampus. Mendengar kata mau jalan-jalan ke kota yang lain (Ka Opy, Anna, Anisah, dan Ipeh) antusias untuk ikut.
Aku berkenalan dengan Wei melalui instagram beberapa minggu sebelum berangkat ke Nanjing. Kulihat dari foto-foto yang dipostingnya, Wei suka jalan-jalan. Terbukti, Wei memang teman yang menyenangkan. Dia juga bisa menjadi guide yang asyik dan informatif. Sampai saat ini kami masih saling bertukar kabar.
belajar menggunakan mesin koin metro
Perjalanan kala itu betul-betul short trip karena sudah malam. Kami pergi setelah buka puasa dan sholat magrib, sekitar pukul 8 pm, dan tentunya pulang sebelum tengah malam. Musim panas membuat panjang malam (gelap) lebih pendek dibandingkan siang (terang). Jadwal berbuka puasa saat itu sekitar pukul 7.20 pm.
“Aku tidak bisa sering-sering menemanimu jalan-jalan karena bekerja. Jauh-jauh ke Nanjing rugi kalau kamu tidak jalan-jalan. Aku akan mengajarimu cari naik metro. Perhatikan!” Wei mengajariku cara membeli koin untuk membayar metro melalui mesin penjual dan memahami jalur metro. Ternyata mudah. Jauh lebih mudah dibandingkan memahami cara menggunakan busway di Jakarta, menurutku.


Tujuan pertama kali adalah Xinjiekou Business Centre. Kekiduan kami kembali terlihat di sini. Menaiki eskalator menuju permukaan, kami disambut dengan gedung-gedung tinggi berhiaskan lampu warna-warni. Melihatnya, kami ternganga! (hahahaaa…)
“Harap maklum ya, Wei. Kalimantan gak punya gedung-gedung yang tingginya kebangetan kayak di sini,” begitu kataku kepada Wei.
Terdapat banyak shopping mall di sini. Kami hanya mampir ke Shopping Lady, pusat perbelanjaan bagi kalangan yang punya budget minim seperti kami. Itu pun Wei tidak memberi kesempatan untuk cuci mata lebih lama.
“Mari kita pergi ke tempat berikutnya! Kalian bisa kembali ke sini untuk berbelanja lain kali,” Wei lalu mengajak kami kembali ke bawah tanah untuk naik metro.




Fuzimiao Scenic Area
Wei mengajak kami ke Fuzimiao. Kawasan ini bisa dibilang pusat wisata di Kota Nanjing. Obyek wisata utama di tempat ini adalah Fuzimiao (Confucius) temple (yang tidak kumasuki karena selalu ramai dan berbayar). Terdapat pula pasar suvenir (tempat favoritnya teman-teman untuk berburu oleh-oleh), pusat perbelanjaan, rumah makan/café, pasar tradisional, dan favoritku adalah sungai Qinhuai dan bangunan kuno di sekitarnya (termasuk big screen wall). Big screen wall lokasinya tepat berada di seberang Fuzimiao temple merupakan dinding layar terpanjang di Cina. Dinding bata berukiran naga ini panjangnya 110 meter, tinggi 10 meter, dan dibangun pada masa Dinasti Ming (tahun 1575).


Kami mengunjungi Fuzimiao 3 kali selama berada di Nanjing. Pertama ya dengan Wei ini, lalu bersama Novie (mahasiswa asal Yogyakarta yang nantinya turut menemani kami jalan-jalan di Nanjing), dan sebelum kembali ke Indonesia. Ngapain sering-sering ke Fuzimiao?! Tiap ke sana ya tujuannya buat beli oleh-oleh! (hahahaaa…). Namun, Fuzimiao punya kesan sendiri untukku. Berada di sana, memandangi Sungai Qinhuai, membuatku merasa dekat dengan rumah. Seperti sedang memandangi Sungai Martapura dari Siring Kota Banjarmasin (Siring Tendean atau Siring Sudirman) :D *padahal Sungai Martapura jauh lebih lebar namun kesan kunonya lebih dapat di Qinhuai.

Sungai Qinhuai dan Big Screen Wall



How to get there:
Jika naik metro, naik line 3 lalu turun di stasiun Fuzimiao (tapi aku lupa keluarnya lewat exit berapa. Seingatku di sini pintu  keluarnya tidak banyak jadi tidak membingungkan).

Confucius Temple
Pasar Souvenir di Fuzimiao Scenic Area



“Satu tempat lagi sebelum kita pulang,” kata Wei kepada kami.
“Kemana?” tanyaku.
“Masjid tertua di Nanjing. Salah satu yang ada di travel bucket list yang ingin kamu datangi selama di Nanjing.”
Aku memang sempat bercerita kepada Wei ingin mengunjungi masjid itu. Jingjue Mosque atau Sanshan Street Mosque, dikenal juga sebagai masjid Zhenghe (Cheng Ho). Masjid Jingjue adalah masjid tertua dan terbesar di Nanjing bahkan di pesisir tenggara. Masjid ini pertama dibangun pada tahun 1388 di masa Dinasti Ming. Pada tahun 1430 Laksamana Cheng Ho memerintahkan untuk membangun kembali masjid ini yang hancur karena kebakaran. Masjid ini juga pernah hancur dalam perang kemudian dibangun kembali dua kali selama Dinasti Qing.
Wei membawa kami menyusuri jalan, tidak kembali ke bawah tanah untuk naik metro. Aku mencoba mengingat jalan yang kami lalui supaya nanti bisa kembali lagi ke sana.

Jingjue, Mesjid Tertua di Kota Nanjing

“Pintu gerbangnya dikunci,” begitu kata Wei setelah kami berada di depan sebuah bangunan kuno. Masjid terlihat sepi karena malam memang sudah cukup larut.
“Sholat tarawih sudah selesai dan mungkin mereka semua sudah pulang,” kataku.
“Ingat lokasinya ya supaya bisa kembali ke sini,” kata Wei. Dia lalu menunjukkan kepada kami tempat makan halal yang ada di sekitar masjid. Cirinya, ada logo halal terpajang di palang.
Jika ada masjid maka di sekitarnya pasti terdapat tempat makan halal. Seperti di Zhujianglu, masjid pertama yang kami datangi di hari pertama kami tiba di Nanjing. Selain terdapat tempat makan, terdapat mini market yang menyediakan produk halal juga di sana. Setiap jumat, ada pasar yang menjual berbagai bahan pangan (seperti daging dan turunannya) di sekitar masjid.
Selama di Nanjing, kami 3 kali berkunjung ke masjid ini. Lokasi Jingjue dan Fuzimiao tidak terlalu jauh sehingga kami selalu menjadikannya satu paket perjalanan.
Masjid Jingjue memiliki luas 4000 meter persegi. Masjid tua ini merupakan cagar budaya dan pusat kegiatan Asosiasi Islam Nanjing. Pada perayaan besar, mesjid ini bisa menampung lebih dari 3000 orang. Sejak awal, mesjid Jingjue memang menjadi pusat kebudayaan Islam di Nanjing. Ada banyak peninggalan budaya berharga di masjid ini, termasuk epigraf penting yang ditinggalkan oleh kaisar. Sebuah gerbang bata dengan ukiran langka dibangun pada tahun 1430. Gerbang sekarang mengalami renovasi dari gerbang asli oleh Asosiasi Islam Nanjing pada tahun 1985.
Tempat wudhu, terutama toiletnya menjadi yang paling nyaman bagi kami selain kamar mandi di dormitory (masjid Caoqiao juga nyaman tapi toilet dan tempat wudhu di masjid Jingjue yang paling nyaman). Alasannya: ada airnya! Kita yang biasa cebok setelah beraktivitas di toilet memang risih kalau tidak ada air. Apalagi Cina di kalangan traveler dikenal memiliki toilet yang jorok. Teman-teman pernah mendapat zonk di hari pertama berada di Cina. Sejak itu, jika tidak terpaksa kami lebih memilih untuk buang air di dormitory saja.

How to get there:
Masjid Jingjue berada di 28 Shengzou Rd, Qinhuai District. Jika naik metro, naik line 1 dan turun di Sanshanjie. Lupa exit berapa karena setiap ke sini selalu dari Fuzimiao (line 3), pulangnya baru lewat Sanshanjie.
Rumah makan di samping Masjid Jingjue
Sebelum berpisah, Wei berucap kepadaku, “Mulai besok, kamu harus berani jalan-jalan sendiri!” Beranikah aku?!