![]() |
memasuki Kampung Kiyu |
Mudik hari raya Idul Fitri kali ini amat berkesan
bagiku. Sejenak melupakan tugas-tugas kuliah dengan berlibur di kampung
halaman, berkumpul dengan orang tua, saudara, keluarga besar, juga teman-teman
kesayangan. Makin seru ketika diajak untuk mendaki Halau-halau, titik tertinggi
yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan setelah Idul Fitri. Meski bukan anak
gunung, pengalaman naik gunung selalu menjadi unforgetable moment bagiku. Hipotermia di Panderman. Baper di Penanjakan-Bromo.
Kedinginan di Ijen. Itu saja sih pengalamanku naik gunung. Selebihnya pengalaman
mendaki kudapat dari naik bukit* yang memang banyak terdapat di rangkaian
Pegunungan Meratus. Capek tapi seru!
Pegunungan Meratus terletak di antara 115°38’ BT –
115°52’ BT dan 2°28’ LS – 20°54’ LS, seakan-akan membelah Provinsi Kalimantan
Selatan menjadi dua, membentang sepanjang ± 600 km² dari arah tenggara dan
membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Timur. Pegunungan ini berada
di wilayah 8 kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu: Hulu Sungai
Tengah (HST), Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Selatan (HSS), Tabalong,
Kotabaru, Tanah Laut, Banjar dan Tapin.
Pegunungan Meratus merupakan kawasan berhutan yang bisa
dikelompokkan sebagai hutan pegunungan rendah dengan keanekaragaman hayati yang
tinggi. Beberapa vegetasi dominan, yaitu: Meranti Putih (Shorea spp), Meranti
Merah (Shorea spp), Agathis (Agathis spp), Kanari (Canarium dan Diculatum BI),
Nyatoh (Palaquium spp), Medang (Litsea sp), Durian (Durio sp) Gerunggang
(Crotoxylon arborescen BI), Kempas
(Koompassia sp), Belatung (Quercus sp).
Berdasarkan tipe penutupan lahan, lahan di kawasan
Pegunungan Meratus dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: Hutan Dataran Tinggi (+
11.345 ha), Hutan Pegunungan (+ 26.345 ha) dan Lahan Kering tidak Produktif (+
8.310 ha). Sedangkan berdasarkan pengamatan okuler, sebagian besar tataguna
lahan di sekitar hutan lindung Pegunungan Meratus adalah areal perladangan,
hutan sekunder hingga semak belukar serta perkebunan rakyat.
Lokasi kawasan hutan yang sebagian besar menjadi hulu
Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadikan Pegunungan Meratus sebagai kawasan
resapan air yang sangat penting bagi Provinsi Kalimantan Selatan. Akan tetapi,
kondisi lereng pegunungan yang cukup terjal dan jenis tanah yang peka erosi
menjadikannya memiliki nilai kerentanan (fragility)
yang tinggi. Oleh karena itu, kawasan hutan Pegunungan Meratus harus
dipertahankan sebagai hutan lindungdan dijauhkan dari perusakan.[2]
Jum’at malam (8/7) Sari, Rima, Hendra, dan Ryan sampai
ke rumah (Barabai) disusul Arinal dan Arifin. Mereka rombongan dari Banjarmasin
yang akan ikut ke Halau-halau. Tak lama setelah kedatangan mereka, kawan-kawan dari
Barabai yang akan menemani kami ke Halau-halau berkumpul di rumahku untuk
membicarakan teknis keberangkatan besok pagi. Siapa yang jalan di depan,
tengah, belakang, juga siapa yang bawa tenda, logistik, dan keperluan lainnya.
Rencananya kami akan pergi selama 3 hari meski tidak menutup kemungkinan
menjadi 4 hari, tergantung kondisi saat pendakian nanti.
Jam 8 pagi keesokan harinya kami kembali berkumpul di
rumahku. Perjalanan ke Kampung Kiyu akan ditempuh sekitar 1 jam perjalanan
menggunakan sepeda motor. Total 15 orang yang berangkat. Andry, Arif, Fani,
Budi, Rizky, Ocay, Jaraw, Kai, Sari, Rima, Hendra, Ryan, Arinal, Arifin, dan
tentunya aku. Kak Asul, Yudi, dan Atus tidak bisa ikut karena ada acara
keluarga. Begitu juga adikku dan Didiel yang tidak bisa ikut karena senin harus
kembali masuk kerja.
Barabai
– Kiyu – Sungai Karuh (Sabtu, 9 Juli 2016)
![]() |
proses pembuatan gelang simpai |
![]() |
Gelang simpai merupakan anyaman khas Dayak Meratus yang bisa digunakan pria dan wanita. Pembuatan gelang simpai umumnya langsung dibuat di tangan sehingga jika ingin melepas, gelang harus dipotong terlebih dahulu. Gelang simpai biasanya merupakan salah satu bukti pernah menginjakan kaki di Pegunungan Meratus. Bahan bakunya adalah serat tanaman pakis (biasa disebut Alang Am) yang tumbuh di dalam hutan Pegunungan Meratus. Selain digunakan untuk aksesoris, gelang ini konon dipercaya membawa keberuntungan dan melindungi dari gangguan makhluk halus. Anyaman ini merupakan simbol hubungan atau keterikatan yang menjalin secara bersamaan dan melengkapi satu sama lain yang tidak ada putusnya. |
Wilayah Balai Kiyu berada di kawasan kaki pegunungan
Meratus sebelah utara, sepanjang Sungai Panghiki dan kaki Taniti (bukit)
Calang. Balai Kiyu merupakan satu wilayah adat seluas ±7.632 hektar pada DAS
Alai. Secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Hinas Kiri, Batu Kambar,
Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan
Selatan. Kondisi hutan adat yang ada di wilayah masyarakat adat Balai Kiyu,
secara fisik cukup bagus dan kaya akan keragaman hayati. Saat ini sebagian
kondisi hutan Adat di Balai Kiyu sedang dalam proses pemulihan. Sebelumnya,
kawasan yang merupakan Hutan Adat Kiyu ini menjadi wilayah konsesi perusahaan
pengusahaan hutan PT. Daya Sakti. Eksploitasi oleh perusahaan tersebut
menyebabkan rusaknya hutan adat. Sejak 1987 perusahaan sudah tidak lagi
beroperasi di wilayah Kiyu dan Kabupaten HST setelah berhasil diusir keluar
oleh masyarakat.[1]
Perjalanan dimulai dengan menyeberangi jembatan ayun
(gantung). Pada awal pendakian ini, jalur yang dilewati sudah berupa jalan yang
disemen meski tidak seluruhnya masih dengan kondisi bagus. Kata kawan-kawan,
jalur yang kami lewati saat naik merupakan jalur yang relatif baru. Lebih
landai meski sedikit lebih jauh dibanding jalur yang relatif lama (pulangnya
kami lewat jalur lama, selain lebih curam jalan setapaknya pun lebih sempit).
Setelah cukup penat mendaki, kita akan melihat pondok peristirahatan di lokasi yang cukup luas dan datar. Lokasi ini bernama Puncak Peniti Ranggang. Sinyal telepon selular masih bisa didapat di lokasi ini meski terbatas (setidaknya bisa untuk berkirim SMS dan telepon). Selain mendapati jalur menuju puncak Halau-halau, di Peniti Ranggang ini kita juga mendapati jalur menuju Desa Juhu* yang merupakan desa dengan lokasi tertinggi di Kalimantan Selatan.
![]() |
salah satu pohon besar yang sering jadi
latar berfoto di pendakian Halau-halau
|
Meski masih suasana lebaran, ternyata banyak yang
memanfaatkan libur lebaran ini untuk naik ke Halau-halau. Ada yang mendaki
dalam rombongan kecil (sekitar 4 orang), sedang (sekitar 10 orang), serta
kami yang mendaki dalam rombongan besar
(15 orang). Untungnya di Sungai Karuh kami mendapat tempat yang nyaman untuk
mendirikan tenda. Tenda sudah berdiri, acara memasak makan malam pun dimulai.
Lapar!!
Sungai
Karuh – Penyaungan (Minggu, 10 Juli 2016)
Camp Sungai Karuh merupakan pos/shelter 1 pada jalur
pendakian ini. Kita bisa mendirikan tenda juga mendapatkan air bahkan
membersihkan diri (mandi) di sungai yang mengalir tidak jauh dari lokasi camp.
Terdapat sebuah pondok sederhana yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat
berkumpul dan beristirahat (di pendakian kami kemarin, sebagian lantai pondok
sudah dalam kondisinya mengenaskan/jabuk).
![]() |
air terjun Sungai Karuh |
![]() |
behind the scene video ucapan ultah 3 tahun SBT |
Ulalaaaa… baru trekking
sebentar kami sudah dihadapkan dengan tanjakan yang seakan tak habis-habisnya.
Jalur pendakiannya memang lebih melelahkan dibandingkan jalur Kiyu-Sungai
Karuh. Pohon berukuran besar pun semakin banyak terlihat. Selain hutan tropis
yang heterogen, lebat, dan berlumut karena lembab, melewati sungai, menyisir
jurang, melewati jalur yang turun naik tetap menjadi jalur yang harus kami
lalui di pendakian hari kedua ini. Capek pakai bangetnya jadi dua kali lipat!
Pada jalur ini kita juga akan melewati lokasi yang bernama Jumantir. Disini terdapat aliran sungai kecil yang dapat kita gunakan untuk keperluan memasak, wudhu/berseka, dan mengisi botol air minum yang sudah kosong. Pohon-pohon yang tumbang atau berukuran besar menjadi lokasi yang banyak dimanfaatkan untuk beristirahat sejenak. Untungnya kami beriringan dengan pendaki lainnya. Perjalanan hari itu jadi semakin ramai karena ada teman mengobrol lebih banyak. Sesekali kami juga berpapasan dengan pendaki lain yang telah sampai puncak atau penduduk yang pulang dari berburu.
Pendakian kami terhenti di sekitar Simpang Tiga
Haraan. Titik ini merupakan persimpangan jalan menuju Halau-halau dari jalur
Kiyu (HST) dan Loksado (HSS). Pendakian kami terhenti karena ada hal yang kalau
dilogikakan tidaklah masuk akal. Meski kejadian seperti ini mungkin tidak sering
terjadi, berada di hutan, gunung, pedalaman Kalimantan pula, sering kali memang
menyimpan hal-hal yang sulit diterima dengan akal sehat. Salah seorang anggota
kami hilang. Saat aku sampai disana, waktu menunjukkan sekitar pukul 3 sore.
Pencarian dilakukan hingga hari mulai gelap. Kami bermalam di Penyaungan, tidak
jauh dari Simpang Tiga Haraan untuk kembali melanjutkan pencarian pada esok
hari.
Camp Penyaungan merupakan lokasi yang dijadikan
pendaki tempat beristirahat bahkan berkemah. Penyaungan merupakan lokasi
terakhir untuk mendapatkan sumber air. Ketinggian lokasi camp Penyaungan
sekitar 1310 mdpl. Suhu dingin terasa di tempat ini. Jika di camp Sungai Karuh aku
yang tidak terlalu tahan dengan suhu dingin bisa tidur hanya menggunakan sleeping
bag tanpa mengenakan jaket, menjelang petang, di Penyaungan aku sudah berkostum
lengkap (jaket dan kaos kaki, malamnya ditambah mengenakan sarung tangan) untuk
menghalau dingin :D
Kami menghibur diri sambil berdoa supaya anggota kami
yang hilang tidak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan dan sesegera mungkin
dapat ditemukan. Kami juga memutuskan untuk mengakhiri pendakian. Puncak gunung
tidak akan lari kemana-mana. Kapan-kapan masih bisa didaki. Namun kehilangan
teman merupakan pukulan berat untuk kami.
![]() |
ngecamp di Penyaungan |
Penyaungan
– Sungai Karuh (Senin, 11 Juli 2016)
Tidak jadi ke puncak, kami membagi rombongan menjadi
dua kelompok. Kelompok pertama tetap tinggal di Penyaungan sambil melakukan
pencarian. Sisanya kembali ke camp Sungai Karuh sambil mencari lokasi yang
terdapat sinyal telepon seluler untuk menghubungi kawan-kawan yang ada di
Barabai. Untunglah meski telah kehabisan logistik dia dapat ditemukan dengan
kondisi sehat. Sekitar pukul 11 malam, rombongan kami telah kembali lengkap
berkumpul di camp Sungai Karuh, ditambah Kak Asul, Dodon, Yudi, Ichunk, dan
kakaknya Rudi yang menyusul kami setelah dapat info bahwa kami kehilangan
seorang anggota.
Sungai
Karuh – Kiyu – Barabai (Selasa, 12 Juli 2016)
Setelah sarapan dan berkemas, kami melanjutkan
perjalanan pulang. Kami sempat beristirahat (ngopi-ngopi) di pondok yang ada di
Peniti Ranggang. Dari Peniti Ranggang, perjalanan pulang kami sempat diwarnai
hujan. Untungnya hujan tidak turun terlampau lama dan lebat.
Sama seperti di perjalanan turun dari Penyaungan ke
Sungai Karuh, lagi-lagi lututku cidera sehingga memperlambat perjalanan kami. Thanks God, kawan-kawan tetap
menghiburku selama perjalanan. Mereka bahkan tak jera mengajakku untuk kembali
mendaki Halau-halau. Aku yang sempat berujar jera pun jadi ingin kembali lagi
ke sini, tentu dengan persiapan yang lebih baik agar tidak lagi mengalami cidera.
(o^.^o)v
![]() |
sebelum hujan turun (at pondok Peniti Ranggang) |
![]() |
katanya ini jalur bekas perusahaan kayu yang pernah beroperasi di Kiyu |
![]() |
beristirahat di rumah Rudinur sebelum pulang ke Barabai |
Penyaungan tingginya sekitar 1310 mdpl dan Halau-halau
ketinggiannya 1901 mdpl. Fiuh, masih hampir 600 meter lagi! Bukit Batas saja
ketinggiannya tidak sampai segitu. Terbayang bagaimana beratnya pendakian
mencapai puncak. Trek menjadi berat karena tanjakan yang dilalui semakin curam.
Oleh karena itu, disarankan tidak membawa banyak barang saat pendakian ke
puncak. Bawa seperlunya saja. Sisanya bisa ditinggal di Penyaungan demi kenyamanan
saat mendaki ke puncak.
Beberapa waktu lalu, ketika Ega (woodywoodfvcker) ke
Halau-halau, dia sempat mengukur ketinggian puncak menggunakan GPS. Saat
pengukuran dilakukan, didapat ketinggian Halau-halau tidak mencapai 1901 mdpl,
hanya 1765 mdpl. Sedangkan menurut wikipedia, ketinggian Halau-halau adalah 1892
mdpl. Kami tidak bisa turut mengukur ketinggian Halau-halau karena tidak sampai
ke puncak. Diperlukan pengukuran lebih lanjut tentang ketinggian Halau-halau.
Jika memang ketinggiannya tidak lagi 1901 mdpl, perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai penyebabnya.
Oh ya, tidak afdol ke Halau-halau jika tidak bertemu pacat (lintah). Katanya sih begitu.
Kalau melihat saja sih lumayan. Tapi kalau digigit?! Ntah kenapa saat itu hanya
aku yang digigitnya, padahal aku memakai sepatu dan celana panjang (yang lain
pakai sendal gunung dan celana pendek!). Untungnya bukan musim hujan sehingga
jumlah pacat yang ada saat itu tidak banyak. Selain pacat, ada lagi hewan yang
sering bikin heboh kalau kemping di hutan. Katikih atau salimbada (Lasius fuliginosus). Semut besar satu ini kalau menggigit sakitnya bikin
nyeri. Salimbada lebih sering terlihat di malam hari, terutama di sekitar
lokasi kita memasak. Pagi hari pun semut ini sering bikin heboh sehingga harus
berhati-hati jika membuka tenda, kalau-kalau permukaan tanah di sekitar tenda
yang kita dirikan merupakan jalur aktivitas semut ini.
Ada banyak lagi keanekaragaman hewan dan tumbuhan yang
ada di jalur pendakian ke Halau-halau. Selain melakukan pendakian memang ada
baiknya jika diikuti dengan kegiatan penelitian, ntah mengenai kondisi fisik,
keanekaragaman hayati, juga kehidupan masyarakat suku Dayak yang tinggal di
wilayah Pegunungan Meratus. Semoga dengan ramainya pendakian ke Halau-halau
selain memperkenalkan keindahan Pegunungan Meratus juga membuat kita semakin termotivasi
untuk mengeksplorasi dan menjaga kelestariannya.
*Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gunung adalah
bukit yang sangat besar dengan ketinggian lebih dari 600 meter.
**South Borneo Travellers (SBT) merupakan wadah untuk saling berbagi atau bertukar
informasi tentang potensi wisata dan budaya yang ada di Indonesia, khususnya di
Kalimantan Selatan. Sharing informasi ini terutama melalui media sosial dan
juga kopdar SBTers. SBT terbentuk pada 25 Juli 2013.
Referensi:
[1] Andy Syahruji. 2009. Forests for the Future:
Indigenous forest management in a changing World. Chapter 5: The Kiyu Dayak
Indigenous Community, Meratus, South Kalimantan.
[2] Yasir Al Fatah & Betty Tio Minar/LPMA. 2004.
Menggali Kearifan di Kaki Pegunungan Meratus.