Saturday, January 19, 2008

Cerpen

Selembar Bayang Ungu

”Nid, sekarang kamu kenapa berubah? Kamu jadi jauh sama kau. Apa kamu gak sayang aku lagi?” Doni berusaha mencari jawab dari Nida. Nida hanya mengelak agar Doni gak terus nuntut jawaban darinya.
”Aku capek, Dan. Aku pulang duluan ya,” pamit Nida.
”Kuantar?”
”No thanks. Aku bawa motor,” tolak Nida yang kemudian meninggalkan Doni di teras kampus yang sedang sepi.
Doni diam. Wajahnya kusut dengan pikiran gak karuan. Sudah beberapa hari ini Nida berubah. Ia merenungi diri mencari apa kesalahannya hingga semua yang dia bangun berubah secepat kilat.

--------- # ---------

Doni memenceti tuts-tuts yang melekat di ponselnya setelah beberapa kali ngontak Nida tanpa hasil.
Nid, lagi sibuk gak? Jalan yuk! Kujemput sekarang
Ajak Doni via sms. Lama ditunggu tapi gak ada jawaban dari Nida. Dani kembali ngontak Nida. Kali ini kontak tersambung.
”Ya,” jawab Nida pendek, gak seperti biasanya dengan embel-embel sayang.
”Kamu dimana? Lagi ngapain? Ku kontak kenapa gak dijawab?” tanya Doni penasaran.
”Sori, aku sibuk.”
”Sekarang masih?”
”Masih. Gini aja deh, n’tar malam kalau sempat kutelpon, ok?!bye!” kontak terputus.
Dengan pasrah Doni merebahkan dirinya di kasur yang selalu membuatnya lelap dengan mimpi indah tentang Nida. Tapi kali ini matanya berat untuk dipejamkan walaupun merasa sangat letih. Mungkin peri tidur sedang enggan untuk berada di sampinganya.
Doni keluar dari kamarnya, menuju ruang tengah. Doni menyalakan tv. Semenit kemudian dia beranjak sambil mematikan tv karena gak ada acara yang enak untuk ditontonnya.
Doni melarikan motornya dengan kecepatan tinggi. Gak lama kemudian dia berada di lantai mal. Entah kenapa kakinya terus membawanya dalam keramaian.
”Nida!” Seru Doni.
Dilihatnya Nida sedang bergandengan dengan cowok yang gak dikenalnya. Gak! Cowok itu dikenalnya. Bayu, musuh bebuyutannya.
Doni lalu menguntit mereka yang terlihat mesra dan gembira. Doni terperanjat. Dia gak percaya dengan apa yang dilihatnya. Benarkah itu cewek yang selama ini jadi penyemangatnya? Nida yang begitu dicintainya. Nida yang akh..., mengapa dia begitu tega?! Iris hatinya.
Dengan gontai Doni melangkahkan kakinya yang terasa kian berat. Sesampainya di rumah, Doni mengurung dirinya di kamar.
”Nid, apa salahku? Kenapa kamu tega menduakanku?” dengan lemah Doni menanyakan hal itu pada foto Nida yang dipajangnya di meja belajar.
Dikenangnya hari-hari indah saat Nida masih begitu mesra dengannya.Nida yang begitu manja. Nida dengan seluruh pesona kecantikannya. Nida yang akh...! kenapa dia begitu tega?! Tanya itu selalu terlintas di pikirannya.
”Hallo.”
”Malam. Bisa bicara sama Nida?”
”Oh, Ka Doni ya? Tunggu ya Ina panggilkan,” gak lama kemudian suara Nida terdengar.
”Baru saja aku mau telpon’” Nida membuka obrolan.
”Oh ya? Tadi kamu kemana?”
”Kan sudah kubilang aku sibuk. Ada yang harus kukerjakan’” Nida beralasan.
”Selingkuh? Tadi kamu ke mal sama Bayu kan?” Doni to the point.
”Tadi itu....”
”Tadi aku ke sana. Aku lihat langsung.”
”Oh, baguslah kalau begitu. Aku gak enak kasih tau kamu makanya diam. Kalau kamu tau sendiri kan enak jelasinnya.’
”Bisa dijelasin?!”
Nida menghela napas. Dia sempat terdiam sebelum memulai penjelasannya. Mungkin merangkai alasan dulu biar Doni cepat mencerna.
”Kami pacaran. Baru seminggu sih tapi dekatnya sejak sebulan lalu. Prosesnya berlalu begitu cepat sampai gak sadar aku sudah jatuh di pelukannya. Ironis memang, tapi kenyataan.”
”Dan cinta kamu gak bersisa lagi untukku?” Doni melanjutkan pertanyaannya.
”Mungkin. Bayu begitu pintar mencuri hatiku.iay sih dia musuh bebuyutanmu, tapi bukan berarti dia musuh bebuyutanku juga kan?!” ucap Nid atanpa sedikitpun merasa bersalah.
”Berarti....”
”Kamu sudah tau arah pembicaraanku. Lagipula kamu gak mau kan jadi selingkuhanku?”
”Bayu yang selingkuhanmu!” protes Doni keras.
”Sebelum kamu tau memang. Tapi sekarang semua sudah gak sama. Thanks atas cinta dan segala yang kamu kasih ke aku. Don, kamu cowok baik. Tapi sayang, aku bukan untuk kamu,” setelah itu keduanya diam.
Walau banyak yang ingin diucapkannya, tenggorokan Doni serasa kering dan tersekat. Gak sepatah kata pun dapat keluar, baik makian, atau kata lain untuk mengeluarkan segala isi hatinya.
”Aku gak nyangka kalau kamu Cuma diam. Apa aku yang harus bicara?”
”Terserah.”
”Ya sudah, kita putus. Tapi kita tetap berkawan,” seketika itu juga kontak terputus.
”Kenapa begitu mudahnya?” Doni merintih sedih. Sedetik kemudian kaca pigura berisi foto Nida berserakan di depannya. Gak ada lagi Nida, kata hatinya.
Dibongkarnya surat-surat cinta Nida untuknya, baik yang dikirim ataupun surat balasan darinya.
Doni tersenyum garing melihat surat-surat itu. Yang berisi puisi-puisi, kata-kata indah, serta rayuan yang kadang terkesan gombal yang kini tinggal kenangan.
Saat Doni inggin membakarnya, satu amplop ungu terjatuh dari kumpulan surat itu. Seingatnya Nida tak pernah mengiriminya surat dengan amplop itu. Nida gak suka warna ungu.
Selembar foto ukuran 9 x 6 ada di dalamnya. Foto seorang cewek yang terlupakan setelah Nida mengisi hati dan hari-harinya.
Satu tahun, cukup lama memang hubungan itu. Sebelumnya Doni sempat pacaran dengan Alya selama empat bulan lalu menjomblo lama sebelum akhirnya bertemu Nida. Saat itulah Tania mulai terlupakan. Tania yang telah tiga tahun pergi. Tania yang terlupakan sampai akhirnya ditemukannya lagi foto cewek yang telah pergi untuk selamanya itu.
Tania, sudah gak ada lagi yang mengungkit namanya sejak kecelakaan yang menewaskannya ketika mendaki Rinjani. Doni dan kawan-kawannya sepakat gak akan mengungkit luka itu. Terutama Doni, karena ketika menghembuskan napas terakhirnya Tania berada dalam pelukannya.
Tania yang baik hati dan periang. Tania yang selalu punya kata-kata indah dan lelucon ringan untuk menghibur orang. Tania yang friendly dan sangat disayang kawan-kawannya.
Mereka pernah pacaran selama satu tahun, tapi putus saat Alya masuk dalam kehidupan mereka. Walau begitu hubungan mereka tetap baik meski semuanya tau sampai detik terakhir hidupnya Tania masih sangat mencintai Doni. Entah mengapa Doni gak pernah terpikir untuk balikan dengan Tania yang selalu di sisinya itu.
”Maaf,” ratap Doni pada foto Tania. Dibacanya untaian kata yang dirangkai Tania dalam suratnya. Sederhana, polos, namun menyejukkan dan penuh makna. Doni tersenyum. Dicarinya lagi barang-barang yang pernah menjadi kenangan mereka yang telah lama tersimpan.

--------- # ---------

Satu jam sudah Doni menatap makam Tania. Dia terlempar ke masa lalu ketika Tania masih hidup. Tania, cewek manis dengan segala pesona kehangatan dan kesederhanaannya.
”Kamu begitu baik dan sabar. Kamu tegar, mandiri, dan selalu mencintaiku walau aku gak seperti yang kamu mau. Maaf, aku sering ingkar, bahkan pada janjiku untuk selalu mencintai dan melindungi kamu. Aku memang bodoh telah menyiakanmu. Maafkan aku Tania.”

--------- # ------------------ # ------------------ # ---------


1 Hari dalam Hidup Ana

Sepertinya hari ini kesialan datang berturut-turut padaku. Pertama, pacarku minta putus, tepat di hari 1 tahun kami jadian.
”Na, gimana kalau aku dah komit ma cinta kita lagi?” ucapnya tiba-tiba pagi tadi, sesaat setelah aku keluar dari kelas.
”Sayang. Ini bukan April mop. Aku juga sedang malas becanda,” ucapku dengan nada serius. Ternyata, itu memang kata pembuka yang cukup baik untuk sebuah perpisahan.
Walau intensitas pertemuan dan komunikasi kami akhir-akhir ini berkurang, bagiku hubungan kami baik-baik saja. Tak disangka, selama itu dia telah mendua dengan gadis yang baru dikenalnya dalam satu bulan ini.
Aku berusaha tegar. Aku gak nangis saat itu. Aku melepasnya walau sebenarnya gak mau. Berat banget! Tapi untuk apa bertahan kalau cintanya sudah gak ada untukku? Hanya buat aku lebih terluka, terlihat egois, dan hina. Jika aku pertahankan, aku pantas dikasihani oleh siapa pun, termasuk oleh diriku sendiri.
Aku memasuki perpustakaan lalu tenggelam dalam lautan buku. Bagiku buku memang obat terampuh mengusir permasalahanku. Minimal, saat aku membacanya lalu gak sengaja tertidur.
Membaca kadang memang membuat kita mengantuk. Oleh karena itulah aku suka membaca sambil rebahan. Kalau gak seperti itu, maka mataku akan terasa sulit untuk dipejamkan.
Tapi kali ini aku gak mau membaca sambil rebahan, apalagi tertidur. Aku harus menyelesaikan tugas geomorfologiku secepatnya, karena waktunya gak banyak. Hanya tiga hari untuk sebuah bahasan yang cukup..., entahlah apa harus kubilang susah, rumit, atau entahlah!
Aku pulang dengan setumpuk buku dan binder yang tebal.
Bra...kk!!
Tasku terjatuh. Talinya lepas karena benangnya putus.
”Kamu ini tas mahal apa murahan sih?! Beli di butik, bermerk lagi! Baru diisi separuh dari bawaanku saja putus. Apa karena aku diputusi pacarku kamu jadi ikutan? Huh, menyebalkan!!” aku mengeluh. Alhasil aku pulang dengan tas terjinjing sambil membawa buku-buku yang terlalu tebal dan berat jika dimasukkan semua ke dalam tas. Sunguh sangat repot dipandang mata.
Aku duduk di depan komputerku yang sudah gak karuan, gak tertolong lagi tepatnya! Sudah perlu diganti baru.
Rambutku yang panjang kukonde dengan pensil. Daster longarku pun jadi terasa sangat nyaman dihari yang sangat gerah ini.
Jeglek!!
Listrik tiba-tiba padam, padahal tugasku separuhnya pun belum sampai kuketik.
”Ya Allah, cobaan apalagi ini?” tanyaku dalam hati. Aku mungkin gak akan terlalu kesal dan menyesal jika dalam 45 menit ini semua yang kuketik telah tersimpan. Komputerku belum kusetting untuk ngesave otomatis sehabis di instal kemarin. Kalau di awal, memang bukan penyesalan namanya. Lagipula, menyesal pun gak akan mengembalikan hasil ketikanku. Kuputuskan untuk jalan-jalan. Aku pergi ke tepian sungai Martapura, tempat favoritku di kota ini.
Aku selalu menyukai sungai walau jujur, aku gak bisa berenang. Kupikir sungai pun menyukaiku. Buktinya, sampai hari ini aku masih hidup walau sudah beberapa kali aku tenggelam di sungai.
Aku menyukai panorama yang dihidangkannya. Kapal barang dan penumpang serta kelotok yang lalu-lalang, bocah-bocah yang asik berenang di sore hari, dan hal lainnya yang selalu membuatku suka pada sungai, suka pada tempat ini. Semoga tempat ini akan selalu jadi tempat yang nyaman, gak seperti tempat lain yang sungainya semakin mengecil atau hilang termakan perkembangan kota. Tapi alam juga sedang gak bersahabat denganku.
Duar!!
Cumulus terbentuk dengan cepat, menumpahkan tetes air yang semakin melebat. Petir pun gak ketinggalan menunjukkan keperkasaannya. Aku harus mencari tempat berteduh yang aman kalau gak mau bernasib sama dengan pohon di seberang sungai yang baru saja tumbang disambar petir.
”Na, tabahkan dirimu. Kuatkan hatimu. Tuhan pasti punya alasan memberimu ’kesialan’ beruntun hari ini,” aku menghela napas, mencoba menghibur diriku sendiri yang kini menggigil kedinginan.
”Na, ini bukan sial tapi cobaan. Kalau cobaan seperti ini saja gak dapat kamu lalui dengan baik gimana dengan cobaan berat? Bersemangatlah karena hidup memang penuh cobaan. Semangat!” gumamku sambil mencari hikmah apa dibalik semua ini.
Ketika hujan reda aku pun pulang. Walau pakaianku basah dan telah mengalami hari yang melelahkan, aku mencoba untuk tetap tersenyum dan terlihat gembira.
”Na, ponselmu sengaja ditinggal ya? Untung Mama dengar pas berdering. Getarnya hampir saja buat ponsel kamu jatuh dari meja. Kalau rusak, wah Mama gak tanggung jawab kalau ada berita bagus yang kamu lewatkan,” ucap Mama yang refleks mengambilkan handuk untuk gadisnya yang habis kehujanan ini.
”Berita bagus? Memangnya siapa yang menelpon, Ma?”
”Siapa ya tadi? Duh, Mama lupa!”
”Yah Mama, jangan becanda dong.... Ma, hari ini Ana dah dapat banyak cobaan. Mama jangan nambah satu cobaan lagi dong dengan canda Mama yang gak asik ini...,” rajukku manja.
”Katanya sih dari penerbityang kamu kirimi novelmu itu. Mereka mau menerbitkannya, tentu setelah novelmu diperbaiki. Ada hal-hal yang masih kurang katanya,”
”Novelku diterima Ma? Ini yang kutunggu-tunggu hari ini, sebuah kabar yang menyenangkan!” ucapku riang sambil mencium pipi Mamaku tersayang.
”Kamu jangan lupa telpon balik. Kalau mereka batalin, kamu nangis darah lagi ntar!”
”Iya Mama, ini juga mau Na telpon...,” ucapku sambil bergegas menuju meja telpon. Tapi belum sempat kupegang gagangnya, Mama kembali berucap.
”Na, Mama belum selesai bicara nih! Masih ada tiga hal lagi...,”
3 hal lagi?
Gedubrak! Kenapa hari ini rasanya ada berjuta hal yang mendatangiku?!
”Banyak amat Ma, apa aja tuh?” tanyaku penasaran.
”Tadi Mama liat Andri jalan sama cewek.”
”Pagi tadi kami putus. Na lagi gak mau dan rasanya gak perlu ngungkit dia lagi. Bisa kan Ma?” Mama mengangguk. ”Kalau hal buruk sudah dibicarain, sisanya kabar baik dong Ma?”
”Mama Cuma mau bilang di dapur ada susu hangat buat kamu. Minum gih biar kamu enakan! Lalu mandi, jangan lama-lama biar kamu ikut maghriban berjamaah. Banyak-banyak ngucap syukur sama Allah. Terus, telpon penerbit,” Mama memberi titik pada ucapannya. Kutunggu beberapa detik tapi gak ada sepatah kata lanjutan pun yang keluar.
”Masih kurang satu hal lagi Ma?!” protesku.
”Ntar juga kamu tau,” Cuma begitu jawaban Mama. Aku pun melangkahkan ke kamar dengan penasaran.
”Na, pesan Abah gak usah pakai acara teriak segala...!” ucap Mama kemudian.
”Alhamdulillah...,” ucapku penuh syukur. Aku segera keluar kamar, mencari dimana Abahku sekarang berada.
Yup, itu Abah! Abah sedang menghirup segelas tes sambil menonton berita, menunggu adzan maghrib tiba.
”Thank bah, laptopnya keren banget, sekeren Abah!” ucapku sambil memeluk abahku.
”Galuh Abah napa bau banget ya?!” sindirnya. ”Mandi gih! Abah tunggu di ruang sholat,” kucium pipi Abah lalu berlari ke kamar motor mandi dengan bahagia.
Hidup itu memang penuh warna.
* kelotok = kapal bermotor
galuh = panggilan untuk anak gadis


--------- # ------------------ # ------------------ # ------------------ # ---------

Missed Call


Senin
081........
tut...tut...
end

Allahuakbar Allahuakbar....
Adzan Subuh berkumandang bersamaan dengan dering ponsel yang memanggilku kembali ke alam nyata setelah terlelap dalam mimpi.
Private number
Itu yang tertera di layar ponselku. Tanpa sempat kuterima kontak telah diputusnya.
”Siapa Subuh-subuh gini missed call? Bidadari atau orang iseng? Ah, siapapun kamu, thanks dah bangunin aku,” ucapku setelah tersadar bahwa tadi malam aku lupa ngeset alarm. Tanpa alarm, aku sering bangun kesiangan hingga terpaksa apel dan isi absensi dulu di kantor baru sarapan.

--------- # ---------

10.00 pm
081........
tut...tut...
end

”Ri, ponselmu bunyi...!”
Tanpa sempat kuterima ponselku berhenti berirama.
Private number
Kembali kalimat itu yang tertera.
”Wah, sudah malam. Tadi ada tugas kantor yang belum selesai kukerjakan. Besok atau lusa kita tanding PS lagi ya! Saku pasti akan balas kekalahanku tadi,” ucapku penuh semangat sembari mengambil sweater dan kunci motor lalu pamit pulang pada Roni, sahabatku, yang rumahnya sering kujadikan tempat nongkrong atau adu PS.
”Kenapa aku bisa kelupaan ya? Sekali lagi wahai bidadari atau orang iseng, tahnks sudah mengingatkanku untuk cepat pulang.”

--------- # ---------

Selasa
081........
tut...tut...
end

Tiga buah panggilan membangunkanku pagi ini. Weker, adzan Subuh, dan missed call dari si private number yang dirinya seakan enggan untuk kuketahui.
”Ah, siapapun engkau aku gak peduli. Ada yang lebih penting dari sekedar memikirkan siapa yang memissed call ku sepagi ini.”

--------- # ---------

10.00 pm
081........
tut...tut...
end

Private number

--------- # ---------

Rabu
081........
tut...tut...
end

--------- # ---------

12.00 pm
081........
tut...tut...
end

--------- # ---------

10.00 pm
081........
tut...tut...
end

--------- # ---------

Kamis
05.00 am
081........
tut...tut...
end

--------- # ---------

12.00 pm
081........
tut...tut...
end

--------- # ---------

10.00 pm
081........
tut...tut...
end

--------- # ---------

Jum’at, Sabtu, Minggu, missed call dari si private number kuterima bagaikan sholat yang wajib kukerjakan 5 kali sehari.
”Dia lagi. Ui, siapa sih kamu? Hello...,” ucaoku seperti orang bodohkarena berbicara pada ponsel yang jelas-jelas kontaknya sudah terputus ketika si private number kembali beraksi.

--------- # ---------

08.00 pm
”Sayang, kamu ya yang seminggu ini missed call aku pakai private number?” kutanyakan hal ini pada gadisku. Malam ini aku malas keluar. Memandang bulan dari balik jendela sembari menelpon kekasih rasanya memang nayaman sekali.
”Memangnya seberapa sering kamu di missed callnya? Mengganggu banget ya?”
”Jadi bukan kamu yang missed call?” aku meyakinkan.
”Apa untungnya buat aku?” gadisku balik bertanya. Iya juga pikirku. ”Jangan-jangan secret admirer kamu lagi.”
”Secret admirer? Mungkin juga ya?! Ari..., siapa sih yang gak terposona karenanya!” ucapku narsis.
”Terserah kamu lah! Susah juga punya pacar yang senarsis kamu ini.”
”Sudah dulu ya sayang, tugas kulku masih banyak. Besok ada pretest lagi! Ntar gak selesai lagi kamu ajakin bicara mulu.”
”Iya deh. Jangan bobo terlalu malam ya. Love u sweat heart...’” tutupku mengakhiri pembicaraan dengan gadisku yang ada di kampung halaman. Aku berharap gadisku ini adalah solmet yang selama ini aku cari, walau usia hubungan kami baru selama perputaran astrologi dari capricornus ke gemini. Aku yang demi pekerjaan harus merantau ke kampung orang mau tak mau harus berjauhan dengan orang-orang yang kusayang. Baik keluarga, sahabat, juga gadisku ini.

--------- # ---------

Kamis
05.00 am
081........
Maaf, nomor...
end

Ponselnya gak aktif. Puff, syukurnya walau mail box nomorku gak akan terdeteksi.

--------- # ---------

”Sudah tau siapa private number’s admirermu itu? Lebih tepatnya sih alarm hidup kamu. Habis, setiap hari dia missed call kamu di saat kamu harus nagun, makan, sholat, juga supaya gak ngelayap sampai larut malam. Aku jadi ingat sama siapa tuh, mantan kamu sebelum Yuni ini...? Yang kata kamu si alarm hidup itu? Si Citra, ya kan?!” ucap Roni saat kami sedang menikmati makan malam di warung tenda favorit kami.
”MG!” sentakku tersadar.
”What’s up man?” tanya Roni.
”Ron, aku cabut dulu ya! Ada yang harus kukerjakan nih,” pamitku yang gak lama kemudian telah meyisiri jalan dengan motorku.

--------- # ---------

1 minggu kemudian...
Mgu
10.00 pm
1 message
read
”Hah, malaikat mana nih yang isiin pulsaku? Apa ada yang salah tulis nomor ya pas pesan e-voucer? Semoga Allah memberikan ganjaran berlimpah untukmu deh, amin!” do’aku untuk siapa pun yang membuat pulsaku yang sis 40 perak menjadi 100 ribu 40 rupiah.

1 message
read
Beberapa hari ini kenapa gak missed call aku? Kehabisan pulsa kah? Tadi kubeliin e-voucer 100 ribu, sudah masuk? Besok, lusa, dan seterusnya missed call aku terus ya! Kalau bisa sms juga
Seminggu ini aku ngerayu Nia supaya kasih tau nomor baru kamu. Mungkin karena kasian akhirnya dia kasih. Kamu disayang banget ya, sori aku sudah nyakitin hati kamu

1 message
read
Kemarin aku diputus. Suer, dia yang minta! Ternyata dia duain aku. Tapi syukur deh, aku jadi gak terlalu merasa bersalah karena akhir-akhir ini aku mikirin kamu terus.

Ponselku tiba-tiba bergetar.
081........
Nomor ini sangat susah kulupakan walau sudah sekian lama kuhapus dari phone book memoryku. Ari, cowok yang pada pandangan pertama berhasil membuatku jatuh cinta lebih dari enam bulan lalu.
Entah mengapa aku masih mencintainya walau luka yang dia toreh amat menyakitkan hati.dia menggantikan aku dengan gadis lain saat aku makin mencintainya. Andai karena jarak kami berpisah aku maklum. Tapi penggantiku pun harus pacaran jarak jauh dengannya. Apa dia hanya mengobral sayang padaku kala itu?” tanya hatiku.
Aku ragu untuk mengangkat telepon darinya. Tapi akhirnya kuterima juga.
”Aku ingin membayar perbuatan menyakitkanku dulu ke kamu. Aku juga ingin buktiin kalau aku pantas untuk kamu cintai lagi. Mulai besok, bangunin aku seperti biasanya ya?” aku terdiam, gak kuasa berkata. Aku harus jawab apa?!

--------- # ---------

Senin
05.00 am
1 message
read
Yank, bangun! Solat, mandi, lalu sarapan! Aku masih ngantuk, mau tidur lagi pung hari ini kul siang. Kerja yang rajin ya...

Nb: waktu yang digunakan dalam WITA loh, not WIB.

No comments:

Post a Comment