Wednesday, September 26, 2012

Mewujudkan Impian


Sabtu, 22 September 2012.
Hari itu aku mengundang Kak Rei menjadi pengisi kegiatan Sharing Kepenulisan Klub Mading SMATEN yang berada di bawah binaanku. Sudah pukul dua belas siang dan Kak Rei belum juga datang. Sebelumnya, aku mengirim pesan pendek pada Kak Rei yang dibalasnya...
maket SMATEN karya siswa
                  Sudah dekat.
Well, mungkin sebentar lagi. Aku kembali menunggu kedatangan penulis buku Travellous dan Travelove ini di lobi sekolah.

God! Kak Rei datang naik ojek!!
“Sori, Kak. Aku lupa bilang jangan bawa mobil karena gangnya sempit!”

Ya, aku lupa mewanti Kak Rei untuk cukup naik motor ke sekolah. Gang Gandapura, letak SMAN 10 Banjarmasin ini berada jalannya memang hanya selebar 2,5 meter. Kak Rei mungkin tidak pernah membayangkan ada SMA di ibukota provinsi yang letaknya nyempil di pinggiran kota dan masuk gang sejauh 1 km yang melewati perkampungan dengan penduduk yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani atau penggunting bawang. Sekolah tempat aku mengajar sejak awal 2010 ini juga dikenal sebagai sekolah mewah alias MEPET SAWAH. Tiga penjuru sekolah berbatasan dengan sawah. Penjuru satunya lagi? SUNGAI! Mepet sawah, sekaligus mepet sungai.
foto bareng Ka Andrei Budiman
Sempat harap-harap cemas jika kegiatan siang itu tidak banyak siswa yang berhadir. Namun, alhamdulillah respon anak-anak cukup menggembirakan. Menulis dan membuat mading memang bukan aktivitas yang banyak disuka siswa SMA 10. Terbukti, tahun kemarin dari semua kelas yang mendapat jadwal untuk memajang mading kelas buatannya, hanya dua kelas yang mengumpulkan. Klub mading sendiri hanya sukses membuat mading yang diperuntukkan untuk lomba. Open rekrutmen anggota klub mading yang sasaran utamanya adalah siswa kelas X pun nyatanya lebih banyak dihadiri siswa kelas XI dan XII.

“Dulu, impianku ada tiga. Bikin film, pergi ke Eropa, dan menulis buku. Padahal, sewaktu SMA aku hanya anak biasa. Aku bukan anak orang kaya, bukan siswa pintar, di kelas pun aku duduk di pojok paling belakang. Tapi aku berusaha supaya bisa mewujudkannya. Akhirnya, satu per satu impianku itu terwujud.”

Impian. Kata itulah yang membuat Kak Rei bisa dikenal sebagai travel writer seperti sekarang. Membawaku kembali ke ingatan bahwa aku memiliki impian untuk menjadi seorang penulis. Aku ingat, waktu SD aku pernah menulis cerpen yang cerita tentang persahabatan seorang anak dengan alien (terinspirasi dari film IT dan sejenisnya). Aku juga pernah menulis cerpen tentang action hero yang terinspirasi dari tokoh-tokoh super hero yang kartun selalu menjadi tayangan favoritku kala itu. Memasuki masa puber (SMP-SMA), genre tulisanku pun berubah menjadi teenlit. Tak hanya cerpen, kadang aku pun menulis puisi (yang kebanyakan bercerita tentang kegalauan abege labil. Hahaa…).

salah satu opini yang diabadikan kawan untukku :D
Membuat mading bukan hal asing bagiku. Sejak SMP, jika kelasku mendapat giliran membuat mading, aku pasti jadi salah seorang seksi sibuknya (meski artikelnya hasil guntingan atau copas majalah/buku. Hehee..). Sewaktu SMA, selain mendirikan klub mading SMAVEN, aku juga pernah menjadi tim kreatif buletin sekolah (yang hanya sukses terbit 2 kali karena dana yang minim). Pasca mengikuti sekolah jurnalistik Radar Banjarmasin, aku juga cukup aktif mengisi kolom Radar Muda, setahun lamanya. Sewaktu kuliah, juga sempat bergabung di UKM Penulis UM. Namun, selain tulisanku di Radar Muda (beberapa opini di B.Post juga), tulisan lainnya hanya dibaca kawan-kawan (kalau yang di blog, dibaca orang-orang yang kupaksa untuk baca blogku atau nyasar nemu blogku! :p).

Siang itu, sosok Kak Rei menjadi motivasi tersendiri bagi anggota klub mading untuk terus meraih impiannya. Meski dengan kerjaan yang sepertinya gak ada habis-habisnya, sharing hari itu pun kembali menjadi motivasi bagiku untuk kembali berusaha mewujudkan impian yang belum menjadi kenyataan.

Sunday, September 2, 2012

Lombok: Liburan Irit (^o^)v

Lombok. 3-8 Juli 2012.
*Lama ga ngeblog, belum basi buat diceritakan, kan? hee..*

Sudah sedari kuliah aku ingin menginjakkan kaki ke pulau yang dikelilingi pantai-pantai indah ini. Berawal dari rencana Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis (UKMP) yang akan melakukan penelitian kecil-kecilan di Senaru di tahun kedua kuliah yang batal sampai menjadi seorang guru, baru keinginan itu tercapai.

Sebenarnya sejak dua tahun lalu sudah ada rencana untuk berlibur ke Lombok. Tapi, ada saja halangan. Prajabatan lah, workshop lah. Untungnya tahun ini liburanku hanya diisi dengan rapat panitia MOS dan beberapa waktu sebelumnya Tazani, adik tingkatku semasa kuliah yang asal Lombok namun sedang studi di Yogyakarta mengontakku via BBM.

"Kak, liburan ini jadi ke Lombok? Bulan depan aku pulang bareng teman-teman."

Dapat kabar begitu dari Tazani tanpa pikir panjang aku langsung hunting tiket via internet! Meski harga tiket lumayan mahal karena memasuki holiday season, tapi karena harganya masih masuk akal, tak lama kemudian itinerary reservation ticket pun sudah di tangan. Kalau bukan holiday season mana bisa aku liburan. Namanya juga guru!

Selain Tazani, aku punya sahabat di Kediri, Lombok Tengah, bernama Inggit. Inggit adalah teman pertamaku di Volcano Community (sebutan untuk jurusan kami), begitu juga aku adalah teman pertamanya Inggit. Meski tidak sekelas, kami sering ngrumpi atau jalan bareng bersama teman-teman se-genk lainnya. Hmm... tapi tahun ini bukan tahun yang tepat untuk menjadikan Inggit travel guide selama di Lombok karena dia sedang hamil muda. Jadi, jika obyek yang akan kukunjungi tidak memungkinkan Inggit untuk ikut maka Inggar, Baskoro, dan Afifi yang bertindak sebagai supirlah yang akan menemaniku berwisata.

- at Malimbu -


Meski harga tiket PP Banjarmasin - Lombok saat itu cukup mahal tapi ongkos yang kukeluarkan saat itu cukup irit karena tidak sedikutpun aku keluar biaya untuk penginapan (nginap di rumah Inggit). Panas (Bahasa Lombok: makan) di rumah Inggit (paling keluar duit buat jajan), transport Inggit yang beliin bensin (nasip jadi tuan rumah :p), disewain cidomo tuk keliling kampung, sampai oleh-oleh pun Inggit yang beliin (sampai aku gak enak hati, hehe..). Dodol nangka buatan emak dan Inggar yang aku bantu bungkusi pun ternyata dibikin sebagai oleh-oleh untuk aku bawa pulang ke Banjarmasin. Lucky me! Hahaa...

"Kak, lusa kami mau ke Gili Trawangan. Kakak mau ikut?" ajak Tazani via BBM sambil menanyakan aku sudah jalan kemana saja selama di Lombok. Tazani tinggal di Tanjung, Lombok Utara.

Sudah di Lombok, gak bakal lah aku nolak diajak ke Gili Trawangan. Diantar Inggar, kami pergi ke Lombok Utara lewat Pusuk (jalur tengah). Di Pusuk Pass, kita bisa melihat banyak monyet nangkring di pinggir jalan. Oleh karena itu, daerah ini juga menjadi salah satu obyek wisata andalan di Lombok Utara selain Tiga Gili, Gunung Rinjani, air terjun sendang gile, dan lainnya.

"Mau berhenti dulu buat foto-foto, Mbak?" tanya Inggar kepadaku, kalau-kalau ingin berfoto dengan para monyet hutan Pusuk. Aku menolak. Tanpa bermaksud meremehkan para monyet hutan Pusuk, berwisata dan berfoto dengan para monyet sebagai obyeknya bukanlah hal asing bagiku. Aku sudah sering melakukannya di Pulau Kembang, pulau sedimen yang lokasinya tak jauh dari pasar terapung Kuin.

Sampai di Pelabuhan Bangsal, aku bergabung dengan Wangsa, Dian, Deni, Gofar, Benny, Roji, Dody, dan kawan-kawannya. Tazani gak ikut karena ada urusan yang harus diselesaikannya di Tanjung. Makin merasa jadi yang tertualah aku di rombongan ini (Tazani aja lebih muda tiga tahun dari aku, apalagi Gofar, adiknya dan kawannya! *tepok jidat*).






Selama di Gili Trawangan, lagi-lagi tak banyak biaya yang dikeluarkan. Menginap dan makan di rumah Dodik, nyebrang ke dan dari Gili Trawangan pun kami gratisan karena ada anak salah satu kapten kapal Gili Trawangan di rombongan kami (Roji). Pingin deh sering-sering liburan kayak ini :p

Alat transportasi di daratan Gili Trawangan cuma dua: cidomo dan sepeda. Agar dapat view yang bagus untuk melihat sunset, kami menyewa sepeda untuk sampai di sisi pulau lainnya. Ternyata, bersepeda menyisir pantai bukan ide yang bagus untuk orang yang sudah lama tidak gowes, tanpa pemanasan pula! Capeeeekkk.......banget!! Tapi terbayarkan karena selain pantainya, sunsetnya juga indah banget!

Karena kami sekumpulan orang kere (selain aku yang lain adalah mahasiswa) dan gak bisa berenang, diving bukanlah tujuan kami ke Gili Trawangan. Bagiku, Dian, dan Deni cukuplah melihat keindahan pulau dari daratan dan berfoto-foto (tak ketinggalan cuci mata lihat bule-bule seleweran). Bagi Gofar, Wangsa, dkk cukuplah dugem bareng bule sampai Subuh karena ini bukan pertama kalinya mereka ke Gili Trawangan. Sedang bagi Dodi dan Roji, bisa kembali ke pulau mereka sebelum menjadi mahasiswa perantauan (mereka MABA) pastilah melegakan.

- at pantai Tanjung Aan -

Lihat sunset di Malimbu, nongkrong di Udayana, beli songket di Desa Sade, jadi baby sitter buat Sofia dan Atiya di pantai Tanjung Aan, gowes sampai paha ngilu di Gili Trawangan, ah, masih kurang karena sebenarnya aku pingin banget melihat perkampungan suku Sasak di Senaru dan berfoto dengan Gunung Rinjani sebagai latarnya. Tapi apa daya. Aku harus kembali ke tanah Borneo. Hanya bisa melihat Rinjani dari balik jendela pesawat menyisakan keinginan untuk kembali kesana. Someday.


Kata bapak ketika aku pamit pulang, "Pertama datang kakinya dua. Nanti kalau datang kesini lagi kakinya empat." Bersama pasangan hidup maksud beliau. Amin. Amin. Amin. Karena pasti asyik honeymoon di Gili Meno, yang katanya tempat favorit buat honyemoon diantara Gili lainnya :p

Trims tuk Inggit sekeluarga. Aku seperti menjadi bagian dari keluarga kalian. Jadi tak apa kan nanti nginap di rumah lagi? Ngerepotin kalian lagi? hehee... Trims juga tuk Tazani, Gofar, inak, mamik. Kalau ke Lombok Utara lagi tak apa kan ya aku numpang nginap? :D

*Belajar menenun ternyata alternatif untuk meluruskan tulang belakang. Soalnya, punggung diikat supaya tetap duduk tegak!